Langsung ke konten utama

Mahasiswa Aktif atau Cepat Sarjana Cepat Kerja

USHUL FIQH SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM (AL-QUR’AN, SUNNAH, IJMA’, QIYAS)



PENDAHULUAN
            Ushul fiqh adalah cabang ilmu agama yang membahaskan mengenai hukum-hukum islam. Hukum-hukum dalam islam sebenarnya sudah jelas termaktub dalam A-Qur’an dan As-Sunnah. Seriing zaman yang terus melaju dari masa Nabi SAW hingga sekarang ushul fiqh  menuai paradigma. Ilmu ushul fiqh mulai ada pada abad 2 H, dan dalam sosial dan budaya menurut geografisnya ushul fiqh mengahasilkan produk hukum yang berbeda-beda.
            Sangatlah jelas bahwa hukum-hukum islam sudahlah termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, seperti yang telah di firmankan Allah SWT (QS.An-Nisa’:59)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai apa sajakah sumber-sumber hukum islam dalam ushul fiqh. Sumber-sumber hukum islam ada dua yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah (al-adilat al-qathiyah). Namun demikian setelah Rasulullah wafat hukum islam mengalami perbedaan menurut sosiocultural masing-masing. Ada pula sumber hukum islam yang diambil dari ijtihadi para ulama’, selain itu ada beberapa sumber hukum dalam ushul fiqh yang digunakan namun hanyalah beberapa ulama ahli madzhab saja yang menggunakan karena menuai beberapa perdebatan. Memang ijma’ dan qiyas (al-adilat ijtihadiyah) adalah hasil dari ra’yi para ulama ahli madzhab (sumer yang tidak diwahyukan), akan tetapi mereka tetaplah berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Rumusan Masalah
1.      Sumber dan dalil hukum Islam?
2.      Apa saja sumber dan dalil-dalil hukum yang disepakati?
3.      Apa saja sumber dan dalil hukum yang tidak disepakati?


PEMBAHASAN
A.    Sumber dan Dalil-Dalil hukum Islam

Sumber Hukum Islam
            Dalam kajian ilmu ushul fiqh mempunyai sandaran dalam menentukan hukum islam. Sandaran penetapan dalam kajian ilmu ushul fiqh ada dua, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, ini diperkuat oleh Firman Allah QS.Al-Maidah(5):49
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# .....
49. “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”
Dan juga dalam Firman-Nya QS.Al-Hasyr(59):7
!!$tBur ãNä39s?#uä ãAqß§9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 .....
7. “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah”[1]
Dapat dilihat bahwasannya sumber-sumber utama dari hukum-hukum islam yang menjadi dasar dari ilmu ushul fiqh adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dalil Hukum Islam
            Dalil hukum islam secara etimologi dapat diartikan suatu ucapan yang dapat dijadikan petunjuk atau landasan suatu perkara. Sedangkan secara terminologi ushul fiqh adalah:
”Dalil adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk yang dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat ‘amali, baik secara qath’i maupun dhanni. Dalil hukum, ushul al-ahkam, al-mashadir al-tasyri’iyah li al-ahkam. Lafadz-lafadz tersebut mempunyai arti yang sama.”[2]
Yang dimaksud dengan dalil hukum yaitu dalil-dalil syariah yang dapat mengistinbathkan hukum syariah.[3]
Dari pengertian yang telah dikemukakan dapat dipaham bahwa yang disebut dalil hukum adaah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang tepat dan benar.[4]
B.     Sumber Hukum Islam yang Disepakati
            Sumber hukum (al-adilat al-syar’iyah) yang disepakati oleh ulama ada empat, diantaranya adalah:
1.      Al-Qur’an
      Ulama ushul fiqh menta’rifkan Al-Quran;Al-Qur’an ialah lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dinukilkan kepada kita dengan cara mautawatir yag dimulai dengan surat Al-Fatihah yang disudahi dengan surat An-Nas, yang dikumpulkan antara dua tepi mushaf yang Allah wahyukan kepada Rasul-Nya dengan lafadz dan makna untuk dihafal dan disampaikan kepada umat sebagaimana yang Allah turunkan.[5]
      Al-Qur’an yang terdiri dari 114 surat, 6666 ayat dan terkumpul dalam 30 juz. Seluruh isi Al-Qur’an dinukilkan kepada manusia secara mutawatir, baik dengan hafalan atau dinukilkan dengan tulisan. Dia memfaedahkan yakin, yang wajib diamalkan dan orang yang mengingkarinya dihukum kafir.
      Inilah sumber tasyri’ yang pertama. Sumber asli yang memberi hak hidup kepada orang lain. Dalam kaitannya dengan hukum adalah qath’i, adakala dhanni yaitu kala lafadznya menerima dua makna.
      Al-Qur’an mengemukakan kaidah-kaidah kulliyah. Tidak menerangkan segala hukum secara terperinci. Dan karenanyalah mempunyai daya tahan sepeanjang masa dan dapat sesuai dengan suasana dan suasana, kondisi tiap-tiap masyarakat. Yang demikian pula merupakan segi kemu’jizatannya. Kebanyakan hukumnya mujmal, yang perinciannya diserahkan kepada ahli ijtihad. Yang menjiwai hukum-hukumnya, adalah menolak kemelaratan dan menghilangkan kepicikan.[6]
Kategorisasi Hukum Dalam Al-Qur’an
      Menurut Abdul Wahhab Khallaf, kategorisasi hukum dalam Al-Qur’an meliputi:
a)      Hukum I’tiqadiyah (keyakinan/keimanan/teologi)
b)      Hukum Khuluqiyah (akhlak/moral/etika)
c)      Hukum ‘Amaliyah (perbuatan lahir)
Hukum ‘Amaliyah dbagi menjadi dua macam:
a.       Hukum Ibadah, (Hubungan antara manusia dengan Allah), misalnya shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah, dan lain-lain.
b.      Hukum Muamalah, (Hubungan manusia dengan manusia), meliputi:
1)      Hukum Ahwal al-syakhsyiyah (hukum keluarga), terdiri dari 70 ayat
2)      Hukum madaniyah (yang berhubungan dengan muamalah pribadi, seperti jual beli, ipah, jaminan, perkongsian), berjumlah 70 ayat
3)      Hukum Jinayah (pidana), 30 ayat
4)      Hukum Mufarat (acara), 13 ayat
5)      Hukum perundang-undangan, 10 ayat
6)      Hukum Ke-Tata Negara-an, 25 ayat
7)      Hukum Istishadiyah (ekonomi) wa al-Maliyah (harta), berjumlah 10 ayat[7]
Menurut Wael B. Hallaq, bahwa para fuqaha dan para ssarjana muslim sepakat, bahwa Al-Qur’an terdiri dari 500 ayat tentang hukum. Jika dibandingkan dengan seluruh isi materi dalam Al-Qur’an, ayat-ayat hukum sangat lah kecil, tetapi kalau diperhatikan, ayat-ayat hukum ada dua kali lebih bahkan tiga kai lebih panjang dari pada ayat-ayat non hukum pada umumnya.[8]

2.      As-Sunnah
      Selain Al-Qur’an sebagai sumber hukum islam, As-Sunnah adalah salah satu sumber hukum islam yang disepakati oleh para ulama fuqaha. Secara etimologi sunnah adalah sesuatu yang sudah biasa dilakukan. Penggunaan kata sunnah dalam arti ini terlihat dalam sabda Nabi SAW:
من سن سنة حسنة فله اجرهاواجرمن عمل بها ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزرمن عمل بها الى يوم القيامة
Siapa yang membuat sunah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang megerjakannya dan barang siapa yang membuat sunah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat.[9]
      Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah:”apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dari sifat Nabi”. Dan menurut ulama fiqh aadalah:”sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya. Perbedaan pengertian disini karena mereka beerbeda dalam segi peninjauan.
      Semua ulama Ahl al-Sunah baik dari kalangan ahli fiqh, ushul fiqh mauoun ulama ahli hadis sepakat mengatakan bahwa kata sunah atau hadis itu hanya merujuk kepada dan berlaku untuk Nabi dan tidak digunakan untuk selain Nabi. Alasannya aadalah kerena beliau sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan, dan karena hanyalah beliau yang merupakan sumber teladan sehingga apa yang disuahkannya mengikat seluruh umat Islam.[10]


Macam-Macam Sunah
     Oleh ulama ushul sunah yang dijadikan sebagai sumber hukum islam terbagi menjadi tiga yaitu:
a)      Sunah Qauliyah
      Sunah qauliyah adalah sesuatu yang diucapkan oleh Rasulullah SAW melalui lisan beliau dan didengar oleh para shahabat beliau, kemudian diberitakan dan diriwayatkan kepada shahabat lain, dan periwayatan itu dilanjutkan dari satu generasi kepada generasi lainnya. Contoh sunnah qauliyah:[11]
عن ٲنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يؤمن ٲحدكم حتى يحب ﻷخيه ما يحب لنفسه
Dari Anas r.a, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Belum beriman salah seorang dari kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”.
b)      Sunnah Fi’liyyah
      Sunnah fi’liyyah adalah semua gerak gerik, perbuatan , dan tingkah laku Rasulullah SAW yang dilihat dan diperhatikan oeh para shahabat beliau, yang kemudian diberitakan dan diriwayatkan kepada para shahabat lainnya secara berkelanjutan dari generasi kepada generasi lainnya. Contoh sunnah fi’liyyah:[12]
من عباد بن تميم عن عمة قال رٲيت النبي صلى الله عليه وسلم يوم خرج يستسقي قال فحولإلى الناس ظهره واستقبل القبلة يدعوثم حول رداءه ثم صلى لنا ركعتين جهر فيهما بالقراءة
Dari Ubbad bin Tamim, dari pamannya, ia berkata: “Saya melihat Rasulullah SAW pada hari beliau keluar untuk melaksanakan shalat gerhana matahari, katanya: “Maka beliau membalikkan tubuhnya membelakangi jamaah dan meghadap qiblat dan berdoa, kemudian beliau shalat bersama kami dua rakaat dengan menjaharkan bacaannya pada kedua rakaat itu”.
c)      Sunnah Taqririyyah
Sunnah taqririyyah adalah sikap persetujuan Rasulullah SAW mengenai suatu peristiwa yang terjadi atau yang dilakukan sahabat beliau, dimana terdapat petunjuk yang menggembarkan bahwa beliau menyetujui perbuatan tersebut. Contoh sunnah taqririyyah antara lain:[13]
Dari Khalid bin Walid r.a katanya: “Kepada Nabi SAW dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak) yang dipanggang untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang berkata kepada beliau: “Itu adalah dhabb”. Maka beliau menahan tangannya, maka Khalid berkata: “Apakah haram memakannya?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi binatang jenis itu tidak biasa ditemukan di daerah saya, maka saya tidak suka dan menghindarinya.” Maka Khalid memakannya, sedang Rasulullah SAW memandangnya”.

Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan sunnah sebagai sumber hukum islam dilihat dari dua sisi, yaitu: dari segi kewajiban umat Islam mematuhi dan meneladani Rasulullah SAW, dan dari segi fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an. Dari sisi yang pertama dalam Al-Qur’an menjelaskan dalam firman Allah QS. An-Nisa(4):80[14]
`¨B ÆìÏÜムtAqß§9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøŠn=tæ $ZàŠÏÿym ÇÑÉÈ        
80. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka[321].

[321] Rasul tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan tidak menjamin agar mereka tidak berbuat kesalahan.

Contoh surah di atas adalah salah satu contoh dari perintah Allah SWT bagi umat Islam untuk mematuhi Rasululah SAW. dan dari sisi yang kedua, sunnah sebagai fungsi terhadap Al-Qur’an. Maksudnya adalah sunnah sebagai penjelas dari Al-Qur’an. Al-Qur’an yang bersifat dasar dan pokok memerlukan undang-undang dan pelaksana agar dapat diberlakukan, maka ketentuan-ketentuan Al-Qur’an yang bersifat dasar dan pokok itu pun memerlkan penjelasan lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan, atau lebih jelasnya penjelasan itu ada dalam sunnah. Hal ini disebutkan dalam surah An-Nahl(16):64[15]
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù   Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sムÇÏÍÈ     
64. dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Berdasarkan fungsi sunnah sebagai penjelas terhadap A-Qur’an, maka sebagai sumber hukum islam sunnah menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Sebagai penjelas Al-Qur’an (al-bayan) sunnah terdapat tiga ketegorikan sebagai berikut:
1)      Menjelaskan maksud ayat-ayat hukum  dalam Al-Qur’an
2)      Men-takhsish ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum
3)      Mengukuhkan dan mempertegas kembali ketentuan-ketentuan yang terdapat daam Al-Qur’an
4)      Menetapkan hukum baru yang memuat zhahirnya tidak di dalamAl-Qur’an
3.      Al-Ijma’
      Ijma’ dalam pengertian Bahasa adalah ketepatan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu.[16] Sedangkan ijma’ secara terminologi adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah semua mujtahid Muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi.[17] Ijma’ itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid yang ada pada masa itu dan bukan berarti kesepakatan semua mujtahid sampai hari kiamat.
Syarat-syarat Ijma’
                 Ijma’ tidak dilakukan oleh sembarangan orang, ijma’ dilakukan oleh para mujtahid Muslim yang ada dimasanya, maka ijma’ mempunyai beberapa syarat sebagai berikut:
a)    Tetap melalui jalan yang shahih, yaitu dengan kemasyhurannya di kalangan ulama, dan yang meriwayatkannya orang yang terpercaya serta luas ilmunya.
b)    Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, jika didahului oleh hal itu, maka bukanlah ijma’, karena perkataan tidak batal dengan kematian yang mengucapkannya.[18]
Kehujjahan Ijma’
Kehujjahan ijma’ ada dari beberapa golongan berargumentasi bahwa ijma’ bukan merupakan hujjah syar’iyah, seperti golongan Syi’ah, Khawarijj, dan Mu’tazilah. Sedangkan golongan Sunni berargumen bahwa ijma’ merupakan hujjah syar’iyah. Golongan Sunni berargumen kepada Al-Qur’an di antaranya:
a)    Surah An-Nisa’ (4): 115:
`tBur È,Ï%$t±ç tAqß§9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB ÇÊÊÎÈ  
115. dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

[348] Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
Dalam ayat ini “jalan-jalan orang mukmin” diartikan sebagai apa yang telah disepakati untuk dilakukan oleh orang mukmin.[19]
b)   Surah Ali Imran (3): 110
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  
110. kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Alif lam bila ditempatkan pada jenis menunjukkan berlaku secara umum. Kebenaran ini menghendaki/menyuruh mmereka melakukan setiap yang makruf dan melarang mereka dari perbuatan yang munkar.[20]
Macam-macam Ijma’
Dilihat dari segi dalil hukum, ijma terbagi menjadi:
a)        Ijma’ Qath’i, yaitu ijma’ yang diketahui keberadaannya dikalangan umat ini dengan pasti, sepeerti ijma’ atas wajibnya shalat lima  waktu, dan haramnya zina. Ijma’ seperti ini tidak ada seorang pun yang mengingkari ketetapannya dan kebenarannya sebagai hujjah, dan dikafirkan orang yang menyelisihinya jika ia bukan orang yang mengetahuinya.
b)        Ijma’ Dhzanni, yaitu ijma‘ yang tidak diketahui kecuali dicari dan dipelajari (tatabbu’ dan istiqra’). Dan para ulama berbeda pendapat mengenai ijma’ ini, dan pendapat yang paling kuat adalah pendapat Ibnu Taimiyah dalam kitab al-aqidah al-wasitiyah, bahwa ijma yang dapat diterima dengan pasti adalah ijma’ salafus shalih, karena setelah mereka terjadi banyak ikhtilaf  dan umat islam sudah tersebar.[21]   
Sanad (Sandaran) Ijma’
Dalam menetapkan suatu hukum syar’iyah maka sudah menjadi hal wajib mempunyai sandaran yang pasti. Ijma’ menjadi sumber atau dalil hukum islam harus mempunyai sandaran yang dijadikan landasan,[22] dan ijma’ yang tidak berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah maka ijma’ tersebut adalah salah. Firman Allah SWT dalam surah Al-Isra’ (17):36:
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ  
36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Contoh ijma’ yang berlandaskan Al-Qur’an adalah keharaan menikahi nenek dan cucu perempuan, ini berlandaskan dalam surah an-Nisa (4):23:[23]
4.      Qiyas
Sumber atau dalil hukum islam yang disepakati selanjutnya adalah Qiyas. Secara Bahasa qiyas adalah mengukur atau membandingkan, sedangkan secara terminologi menurut Abdul Wahhab Khalaff Qiyas adalah menyamakan suatu kasus yang tidak terdapat hukumnya dalam nash dengan kasus yang hukumnya terdapat dalam nash, karena adanya persamaan illat dalam kasus itu.[24] Maka dapat diketahui bahwa hakikat qiyas adalah:
a)        Ada dua kasus yang mempunyai ‘illat yang sama.
b)   Satu diantara dua kasusu yang bersamaan ‘ilatnya itu sudah ada hukumnya yang ditetapkan berdasarkan nash, sedangkan yang satu lagi belum diketahui hukumnya.
c)    Berdasarkan ‘ilat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash.[25]

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam qiyas yaitu: al-ashl (dasar; pokok), al-far’u (cabang), hukum ashl, dan ‘illah.[26]

Tingkatan-tingkatan Qiyas
Qiyas terbagi menjadi beberapa tingkatan, tengkatan-tingkatan qiyas ditinjau dari beberapa segi, yaitu dari segi kejelasan, kekuatan, penyebutan, keserasian ‘illah, dan dari segi metode penemuan ‘illahnya. Di bawah ini akan dijelasakan tiga tingkatan qiyas yang disebut pertama.
Ditinjau dari segi kejelasan ‘illahnya, qiyas dapat dibagi menjadi dua bagian:
a)         Qiyas al-jali (qiyas yang nyata). Qiyas ini terbagi lagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:
1.    Suatu qiyas yang hukumnya bersifat nyata karena disebutkan oleh nashsh.
2.    Suatu qiyas yang ‘illahnya tidak deisebutkan di dalam nashsh, tetapi tidak ada kesamaran untuk mengetahui persamaan ‘illah itu di dalam al-ashl dan al-far’u.
b)   Qiyas al-khafi (qiyas yang tersembunyi), yaitu qiyas yang ‘illahnya tidak disebutkan di dalam nashsh secara nyata, sehingga untuk menemukan ‘illah hukumnya memerlukan ijtuhad.
Selanjutnya qiyas yang ditinjau dari segi kekuatan atau lemahnya ‘illah yang terdapat dalam al-far’u dibandingkan dengan ‘illah yang terdapat pada al-ashl tingkatan qiyas terdiri atas tiga tingkatan, yaitu:
a)    Qiyas al-Awla (qiyas yang lebih utama), adalah qiyas yang ‘illahnya pada al-far’u lebih kuat dibandingkan dengan al-ashl, sehingga penerapan hukum yang terdapat pada al-ashl lebih utama diterapkan pada al-far’u.
b)   Qiyas al-Musawi (qiyas yang setara), adalah qiyas yang memiliki kekuatan ‘illah yang sama, yang terdapat pada al-ashl dan al-far’u, sehingga hukumnya sama pada keduanya.
c)    Qiyas al-Adna (qiyas yang lebih rendah), adalah qiyas yang ‘illah hukum yang terdapat pada al-far’u  lebih lemah daripada ‘illah yang terdapat pada al-ashl. Meskipun ‘illah hukumnya lebih lemah, namun ketentuan hukum yang terdapat pada al-ashl tetap memenuhi syarat untuk diterapkan pada al-far’u.
Tingkatan ‘illah ditinjau dari segi disebutkan atau tidaknya disebutkannya ‘illah tersebut dalam al-ashl, dapat dibagi pada dua tingkatan, yaitu qiyas al-‘illah dan qiyas al-ma’na:
a)    Qiyas al-‘illah, yaitu qiyas yang ‘illah-nya disebutkan secara jelas dalam al-ashl. Berasarkan al-ashl yang ‘illah-nya jelas inilah diterapkan hukumnya kepada al-far’u yang juga memiliki ‘illah yang sama terdapat di dalamnya.
b)   Qiyas al-ma’na, yaitu qiyas yang tidak disebutkan secara jelas ‘illah-nya dalam al-ashl, tetapi dapat dipahami dengan jelas adanya sesuatu yang menurut logika hukum bahwa ia adalah ‘illah hukum tersebut. ‘Illah ini kemudian menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada al-far’u yang memiliki persamaan ‘illah.[27]
Landasan Qiyas sebagai Dalil Hukum
Kedudukan qiyas sebagai dalil penetapan hukum dipahami oleh jumhur ulama dari beberapa nashsh Al-Qur’an dan Sunnah serta atsar ash-shahabi.[28]
a)   Al-Qur’an
Sebagai contoh firman Allah dalam surah An-Nisa(4):59:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Melalui ayat di atas Allah memerintahkan, jika terjadi perbedaan pendapat tentang suatu masalah di antara kaum muslimin, agar mencari penyelesaiannya dengan merujukkannya kepada Allah (Al-Qur’an) dan kepada Rasulullah (Sunnah), dengan metode qiyas.[29]
b)   Sunnah
Dalil pengguanaan qiyas yang berasal dari Sunnah, diriwayatkan oleh al-Bukhari[30] adalah sebagai berikut:

Dari Ibnu Abbas r.a bahwa seorang wanita menghadap Rasulullah SAW dan bertanya tentang kewajiban puasa ibunya selama sebulan yang belum ditunaikan oleh ibunya itu: “Apakah saya dapat melaksanakannya atas namanya? Maka Rasulullah SAW balik bertanya: “Jika ibumu mempunyai utang, apakah Anda akan membayarnya?” Wanita itu menjawab: “Benar” Rasulullah SAW bersabda: “Utang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi”.
Hadis diatas menggambarkan bahwa Rasulullah SAW sendiri menjawab pertanyaan dengan cara meng-qiyas-kan antara utang kepada sesame manusia dan utang kepada Allah SWT. Karena itu qiyas merupakan salah satu institusi yang legal dalam menetapkan hukum Islam.[31]
c)    Dalil Atsar ash-Shahabi
Dalil qiyas yang berasal dari atsar ash-shahabi salah satunya adalah sebagai berikut:
Surat Umar R.A kepada Abu Musa R.A
Ketika Abu Musa asy-‘Asy’ari diangkat oleh Khalifah Kedua, Umar bin al-Khaththab, menjadi hakim di Yaman, Umar memberikan arahan kepadanya tentang langkah-langkah yang perlu diambil dalam memutuskan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, terutama perkara-perkara yang tidak terdapat ketentuan nashsh yang mengaturnya secara jelas. Surat Umar yang isinya adalah:
 Pahamilah sebaik-baiknya masalah-masalah yang membuat hatimu ragu dan gelisah kerena masalah tersebut tidak sampai informasinya kepadamu (tidak engkau temukan), baik di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Kenalilah sebaik-baiknya masalah-masalah yang serupa dan mirip dengan ketentuan yang telah ada, kemudian qiyas-kanlah (kepadanya) masalah yang engkau hadapi. Kemudian tetapkanlah hukum berdasarkan yang paling disukai Allah dan yang paling mirip dengannya di antara pendapatmu yang ada.      
Surat Umar di atas menegasakan perintah kepada Abu Musa ketika ia tidak menemukan aturan nashsh dari suatu masalah hukum yang dihadapinya, untukmeng-qiyas-kan hukum masalah tersebut kepada hukum masalah serupa yang terdapat dalam nashsh Al-Qur’an ataupun Sunnah yang mengaturnya, karena adanya kesamaan ‘illah antara keduanya.[32]



KESIMPULAN
            Dari pembahasan sumber dan dalil hokum islam di atas maka dapat dambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an merupakan sumber dan dalil hokum islam yang dasar atau pokok, maka dalam hal ini Al-Qur’an memerlukan adanya penjelasan (al-bayan). Dalam Al-Qur’an semua masalah hokum tidak dijelaskan secara terperinci karena selain termasuk dalam kemukjizatan Al-Qur’an, hal ini juga untuk memadukan dalam setiap kondisi di setiap zaman, tempat dan sosio cultural umat Islam di dunia.
2.      Sunnah merupakan sumber dan dalil hokum islam yang mana posisi Sunnah sebagai penjelas (al-bayan) bagi Al-Qur’an. Sunnah yang merupakan hasil dari perkataan, perbuatan dan sikap persetujuan dari Rasulullah SAW menempati posisi kedua sebagai sumber dan dalil hokum islam.
3.      Ijma’ sebagai dalil hokum islam adalah ketetapan-ketetapan yang dilakukan oleh para mujtahid Muslim. Ijma’ menjadi dalil hokum islam tidak mungkin tidak bersandarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah, karena bila ijma’ tidak bersandarkan atas kedua sumber dan dalil hokum islam tersebut tidak bias dikatakan sebagai ijma’.
4.      Qiyas adalah membandingkan sesuatu dengan sesuatu. Perumpamaan qiyas adalah membandingkan suatu perkara yang sudah terjadi pada zaman Nabi dan sekarang dan akan tetap dikembalikan dengan berlandaskan Al-Qur’an.
Maka yang dinamakan sumber dan dalil hokum islam adalah, yang menjadi sumber hokum islam sudah pastilah sebagai dalil hokum islam dan yang menjadi dalil hokum islam belum tentu menjadi sumber hokum islam.




PENUTUP
            Demikianlah makalah ini penyusun buat, penyusun menyadari banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, karena kesalahan milik manusia dan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata.
           









DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shdieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1997)
Mardani, Dr, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, Ed. 1, cet. 1, 2013)
Dahlan, Abd Rahman, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, Ed. 1, cet, 3, 2014)
Khalaff, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Maktabbah al-Da’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1410/1990M, cet. 8)
Zuhali, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1406 H/1986 M, Juz 1, cet. 1)
Hallaq, Wael B, A History of Islamic Legal Theoris, Sejarah Teori Hukum Islam, Penerjemah: E Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid (Jakarta: Rajawali Press, 2001, cet. 2)
Ma’luf, Louwis, al-Minjid fi al-Lughah wa al-I’lam
Al-Utsmaini, Muhammad bin Saleh, al-Ushul min Ilmi al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, Tth)
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: KENCANA, Ed.1, cet. 4, 2009)


[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm.172
[2] Abdul Wahhab Khallaf, loc. Cit., hlm.20.
[3] Wahbah Zuhali, Ushul Fiqh al-Islami, loc.cit., hlm.417.
[4] Ramli SA, Muqaranah Madzhab fil Ushul (Jakarta:Gaya Media Pratama, 1999) hlm. 42
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm.174
[6] Firman daam surat Al-Baqarah ayat 185 dan dalam surat Al-Hajj ayat 78
[7] Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, Ed. 1, Cet. 1, 2013), hlm.118-119 
[8] Wael B. Hallaq, loc.cit., hal.4-5. Tentang ayat-ayat hukum, dapat dilihat Mardani, Ayat-ayat Tematik Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
[9] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: KENCANA, Ed.1, cet. 4, 2009), hlm.86
[10] rof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: KENCANA, Ed.1, cet. 4, 2009), hlm.87-88
[11] Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Qalam, tt, hadis nomor 12.
[12] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadis nomor 969.
[13] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari. Hadis nomor 4981.
[14] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, Ed. 1, cet. 3, 2014), hlm.138
[15] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, Ed. 1, cet. 3, 2014), hlm.140
[16] Louwis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al I’lam., hlm.101.
[17] Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, Ed. 1, Cet. 1, 2013), hlm.164
[18] Muhammad bin Shaleh al-Utsmani, ibid., hlm.66.
[19] Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, Ed. 1, Cet. 1, 2013), hlm.167
[20] Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, Ed. 1, Cet. 1, 2013), hlm.168
[21] Muhammad bin Shalih al-Utsmani, loc. cit., hlm.65-66.
[22] Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, Ed. 1, Cet. 1, 2013), hlm.173
[23] Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, Ed. 1, Cet. 1, 2013), hlm.173
[24] Abd Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh, loc. cit., hlm.52.
[25] Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, Ed. 1, Cet. 1, 2013), hlm.179
[26] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, Ed. 1, cet. 3, 2014), hlm.164
[27] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, Ed. 1, cet. 3, 2014), hlm.174-177
[28] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, Ed. 1, cet. 3, 2014), hlm.177
[29] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, Ed. 1, cet. 3, 2014), hlm.178
[30] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadis nomor 2878.
[31] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, Ed. 1, cet. 3, 2014), hlm.180
[32] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, Ed. 1, cet. 3, 2014), hlm.181-182

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Ilmu Tauhid, Aqidah, Ushuluddin, dan Fiquh Akbar

A.     Pengertian Tauhid a.        Ilmu Tauhid             Dalam konteks agama Islam Tauhid adalah ilmu kepercayaan yang membahas tentang meng-Esa-ka Allah. Namun sebenernya pengertian diatas tidaklah sesempit itu. Perintah bagi manusia untuk beragama dan berke-Tuhanan sudah tertuliskan dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 30-32: ó O Ï % r ' s ù y 7 y g ô _ u r È û ï Ï e $ # Ï 9 $ Z ÿ ‹ Ï Z y m 4 | N t  ô Ü Ï ù « ! $ # Ó É L © 9 $ # t  s Ü s ù } ¨ $ ¨ Z 9 $ # $ p k ö Ž n = t æ 4 Ÿ w Ÿ @ ƒ Ï ‰ ö 7 s ? È , ù = y Ü Ï 9 « ! $ # 4 š  Ï 9 º s Œ Ú ú ï Ï e $ ! $ # Þ O Í h Š s ) ø 9 $ #   Æ Å 3 » s 9 u r u Ž s Y ò 2 r & Ä ¨ $ ¨ Z 9 $ # Ÿ w t b q ß J n = ô è t ƒ Ç Ì É È    * t û ü Î 6  Ï Y ã B Ï m ø ‹ s 9 Î ) ç n q à ) ¨ ? $ # u r ( # q ß J Š Ï % r & u r n o 4 q n = ¢ Á 9 $ # Ÿ w u r ( # q ç R q ä 3 s ? š Æ Ï B t û ü Å 2 Î Ž ô ³ ...

AKHLAK/TASAWUF Potensi Kerohanian Manusia (Nafsu dan Qolbu)

Oleh: Febryan Hidayat (124211045) Muhamad Dafiqur Rizki (124211063) Arifuzaki Ulil Absor (1404026117) Rahmat Syarifudin (114211038)       I.           Pendahuluan      Potensi keruhanian manusia dalam pandangan tasawuf mencakup beberapa aspek. Potensi merupakan kemampuan manusia untuk mengembangkan sesuatu yang ada pada dalam dirinya dalam ranah tasawuf khususnya keruhanian manusia adalah potensi nafsu dan qalbu (hati). Dalam makalah ini nafsu dan qalbu akan terbagi menjadi beberapa bagian. Khusus dalam pembahasan nafsu akan ada nafsu yang menurut pendapat berbagai ulama yang dinamakan nafsu yang dinilai baik, begitu pun sebaliknya qalbu, yang menurut anggapan banyak orang qalbu merupakan kunci untuk memperbaiki ruhaniah manusia adalah juga ada potensi-potensi qalbu yang di dalamnya terdapat benih-benih penyakit jiwa. Maka dalam isian makalh ini akan di bahaskan seperti apakah p...