- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
PENDAHULUAN
Ushul fiqh adalah cabang ilmu agama
yang membahaskan mengenai hukum-hukum islam. Hukum-hukum dalam islam sebenarnya
sudah jelas termaktub dalam A-Qur’an dan As-Sunnah. Seriing zaman yang terus
melaju dari masa Nabi SAW hingga sekarang ushul fiqh menuai paradigma. Ilmu ushul fiqh mulai ada
pada abad 2 H, dan dalam sosial dan budaya menurut geografisnya ushul fiqh
mengahasilkan produk hukum yang berbeda-beda.
Sangatlah jelas bahwa hukum-hukum
islam sudahlah termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, seperti yang telah di
firmankan Allah SWT (QS.An-Nisa’:59)
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
(
bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4
y7Ï9ºs
×öyz
ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
59. Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai apa sajakah sumber-sumber hukum islam dalam
ushul fiqh. Sumber-sumber hukum islam ada dua yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah (al-adilat
al-qathiyah). Namun demikian setelah Rasulullah wafat hukum islam mengalami
perbedaan menurut sosiocultural masing-masing. Ada pula sumber hukum islam yang
diambil dari ijtihadi para ulama’, selain itu ada beberapa sumber hukum dalam
ushul fiqh yang digunakan namun hanyalah beberapa ulama ahli madzhab saja yang
menggunakan karena menuai beberapa perdebatan. Memang ijma’ dan qiyas (al-adilat
ijtihadiyah) adalah hasil dari ra’yi para ulama ahli madzhab (sumer yang
tidak diwahyukan), akan tetapi mereka tetaplah berpegang pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Rumusan Masalah
1.
Sumber dan dalil
hukum Islam?
2.
Apa saja sumber
dan dalil-dalil hukum yang disepakati?
3.
Apa saja sumber
dan dalil hukum yang tidak disepakati?
PEMBAHASAN
A.
Sumber
dan Dalil-Dalil hukum Islam
Sumber
Hukum Islam
Dalam kajian ilmu ushul fiqh
mempunyai sandaran dalam menentukan hukum islam. Sandaran penetapan dalam
kajian ilmu ushul fiqh ada dua, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, ini diperkuat
oleh Firman Allah QS.Al-Maidah(5):49
Èbr&ur
Nä3ôm$#
NæhuZ÷t/
!$yJÎ/
tAtRr&
ª!$#
.....
49. “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah”
Dan
juga dalam Firman-Nya QS.Al-Hasyr(59):7
!!$tBur
ãNä39s?#uä
ãAqߧ9$#
çnräãsù
$tBur
öNä39pktX
çm÷Ytã
(#qßgtFR$$sù
4
.....
7. “Dan apa yang diberikan Rasul
kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah”[1]
Dapat
dilihat bahwasannya sumber-sumber utama dari hukum-hukum islam yang menjadi
dasar dari ilmu ushul fiqh adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalil
Hukum Islam
Dalil hukum islam secara etimologi
dapat diartikan suatu ucapan yang dapat dijadikan petunjuk atau landasan suatu
perkara. Sedangkan secara terminologi ushul fiqh adalah:
”Dalil
adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk yang dengan menggunakan
pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat ‘amali, baik
secara qath’i maupun dhanni. Dalil hukum, ushul al-ahkam, al-mashadir
al-tasyri’iyah li al-ahkam. Lafadz-lafadz tersebut mempunyai arti yang sama.”[2]
Yang
dimaksud dengan dalil hukum yaitu dalil-dalil syariah yang dapat mengistinbathkan
hukum syariah.[3]
Dari
pengertian yang telah dikemukakan dapat dipaham bahwa yang disebut dalil hukum
adaah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha
menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang tepat dan
benar.[4]
B.
Sumber
Hukum Islam yang Disepakati
Sumber hukum (al-adilat
al-syar’iyah) yang disepakati oleh ulama ada empat, diantaranya adalah:
1. Al-Qur’an
Ulama
ushul fiqh menta’rifkan Al-Quran;Al-Qur’an ialah lafadz yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang dinukilkan kepada kita dengan cara mautawatir yag
dimulai dengan surat Al-Fatihah yang disudahi dengan surat An-Nas, yang
dikumpulkan antara dua tepi mushaf yang Allah wahyukan kepada Rasul-Nya dengan
lafadz dan makna untuk dihafal dan disampaikan kepada umat sebagaimana yang
Allah turunkan.[5]
Al-Qur’an
yang terdiri dari 114 surat, 6666 ayat dan terkumpul dalam 30 juz. Seluruh isi
Al-Qur’an dinukilkan kepada manusia secara mutawatir, baik dengan hafalan atau
dinukilkan dengan tulisan. Dia memfaedahkan yakin, yang wajib diamalkan dan
orang yang mengingkarinya dihukum kafir.
Inilah
sumber tasyri’ yang pertama. Sumber asli yang memberi hak hidup kepada orang
lain. Dalam kaitannya dengan hukum adalah qath’i, adakala dhanni yaitu kala
lafadznya menerima dua makna.
Al-Qur’an
mengemukakan kaidah-kaidah kulliyah. Tidak menerangkan segala hukum secara
terperinci. Dan karenanyalah mempunyai daya tahan sepeanjang masa dan dapat
sesuai dengan suasana dan suasana, kondisi tiap-tiap masyarakat. Yang demikian
pula merupakan segi kemu’jizatannya. Kebanyakan hukumnya mujmal, yang
perinciannya diserahkan kepada ahli ijtihad. Yang menjiwai hukum-hukumnya,
adalah menolak kemelaratan dan menghilangkan kepicikan.[6]
Kategorisasi Hukum Dalam Al-Qur’an
Menurut
Abdul Wahhab Khallaf, kategorisasi hukum dalam Al-Qur’an meliputi:
a) Hukum
I’tiqadiyah (keyakinan/keimanan/teologi)
b) Hukum
Khuluqiyah (akhlak/moral/etika)
c) Hukum
‘Amaliyah (perbuatan lahir)
Hukum ‘Amaliyah dbagi menjadi dua macam:
a. Hukum
Ibadah, (Hubungan antara manusia dengan Allah), misalnya shalat, puasa, zakat,
haji, nazar, sumpah, dan lain-lain.
b. Hukum
Muamalah, (Hubungan manusia dengan manusia), meliputi:
1) Hukum
Ahwal al-syakhsyiyah (hukum keluarga), terdiri dari 70 ayat
2) Hukum
madaniyah (yang berhubungan dengan muamalah pribadi, seperti jual beli,
ipah, jaminan, perkongsian), berjumlah 70 ayat
3) Hukum
Jinayah (pidana), 30 ayat
4) Hukum
Mufarat (acara), 13 ayat
5) Hukum
perundang-undangan, 10 ayat
6) Hukum
Ke-Tata Negara-an, 25 ayat
7) Hukum
Istishadiyah (ekonomi) wa al-Maliyah (harta), berjumlah 10 ayat[7]
Menurut Wael B. Hallaq, bahwa para
fuqaha dan para ssarjana muslim sepakat, bahwa Al-Qur’an terdiri dari 500 ayat
tentang hukum. Jika dibandingkan dengan seluruh isi materi dalam Al-Qur’an,
ayat-ayat hukum sangat lah kecil, tetapi kalau diperhatikan, ayat-ayat hukum
ada dua kali lebih bahkan tiga kai lebih panjang dari pada ayat-ayat non hukum
pada umumnya.[8]
2. As-Sunnah
Selain
Al-Qur’an sebagai sumber hukum islam, As-Sunnah adalah salah satu sumber hukum
islam yang disepakati oleh para ulama fuqaha. Secara etimologi sunnah adalah
sesuatu yang sudah biasa dilakukan. Penggunaan kata sunnah dalam arti ini
terlihat dalam sabda Nabi SAW:
من
سن سنة حسنة فله اجرهاواجرمن عمل بها ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزرمن عمل بها
الى يوم القيامة
Siapa yang membuat sunah yang baik maka
baginya pahala serta pahala orang yang megerjakannya dan barang siapa yang
membuat sunah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang
mengerjakannya sampai hari kiamat.[9]
Sunnah
dalam istilah ulama ushul adalah:”apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad
SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dari sifat Nabi”.
Dan menurut ulama fiqh aadalah:”sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut
melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi
pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.
Perbedaan pengertian disini karena mereka beerbeda dalam segi peninjauan.
Semua
ulama Ahl al-Sunah baik dari kalangan ahli fiqh, ushul fiqh mauoun ulama
ahli hadis sepakat mengatakan bahwa kata sunah atau hadis itu hanya merujuk
kepada dan berlaku untuk Nabi dan tidak digunakan untuk selain Nabi. Alasannya
aadalah kerena beliau sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum
(terpelihara dari kesalahan, dan karena hanyalah beliau yang merupakan
sumber teladan sehingga apa yang disuahkannya mengikat seluruh umat Islam.[10]
Macam-Macam Sunah
Oleh
ulama ushul sunah yang dijadikan sebagai sumber hukum islam terbagi menjadi
tiga yaitu:
a) Sunah Qauliyah
Sunah
qauliyah adalah sesuatu yang diucapkan oleh Rasulullah SAW melalui lisan beliau
dan didengar oleh para shahabat beliau, kemudian diberitakan dan diriwayatkan
kepada shahabat lain, dan periwayatan itu dilanjutkan dari satu generasi kepada
generasi lainnya. Contoh sunnah qauliyah:[11]
عن ٲنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يؤمن ٲحدكم حتى يحب ﻷخيه ما يحب لنفسه
Dari Anas r.a,
dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Belum beriman salah seorang dari kamu, sebelum
ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”.
b)
Sunnah Fi’liyyah
Sunnah fi’liyyah adalah semua gerak gerik,
perbuatan , dan tingkah laku Rasulullah SAW yang dilihat dan diperhatikan oeh
para shahabat beliau, yang kemudian diberitakan dan diriwayatkan kepada para
shahabat lainnya secara berkelanjutan dari generasi kepada generasi lainnya.
Contoh sunnah fi’liyyah:[12]
من عباد بن تميم عن عمة قال رٲيت النبي صلى الله عليه وسلم يوم خرج يستسقي قال فحولإلى
الناس ظهره واستقبل القبلة يدعوثم حول رداءه ثم صلى لنا ركعتين جهر فيهما بالقراءة
Dari Ubbad bin
Tamim, dari pamannya, ia berkata: “Saya melihat Rasulullah SAW pada hari beliau
keluar untuk melaksanakan shalat gerhana matahari, katanya: “Maka beliau
membalikkan tubuhnya membelakangi jamaah dan meghadap qiblat dan berdoa,
kemudian beliau shalat bersama kami dua rakaat dengan menjaharkan bacaannya
pada kedua rakaat itu”.
c)
Sunnah Taqririyyah
Sunnah
taqririyyah adalah sikap persetujuan Rasulullah SAW mengenai suatu peristiwa
yang terjadi atau yang dilakukan sahabat beliau, dimana terdapat petunjuk yang
menggembarkan bahwa beliau menyetujui perbuatan tersebut. Contoh sunnah
taqririyyah antara lain:[13]
Dari Khalid bin
Walid r.a katanya: “Kepada Nabi SAW dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak)
yang dipanggang untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang berkata kepada beliau:
“Itu adalah dhabb”. Maka beliau menahan tangannya, maka Khalid berkata: “Apakah
haram memakannya?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi binatang jenis itu tidak
biasa ditemukan di daerah saya, maka saya tidak suka dan menghindarinya.” Maka
Khalid memakannya, sedang Rasulullah SAW memandangnya”.
Kedudukan Sunnah
sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan sunnah
sebagai sumber hukum islam dilihat dari dua sisi, yaitu: dari segi kewajiban
umat Islam mematuhi dan meneladani Rasulullah SAW, dan dari segi fungsi sunnah
terhadap Al-Qur’an. Dari sisi yang pertama dalam Al-Qur’an menjelaskan dalam
firman Allah QS. An-Nisa(4):80[14]
`¨B
ÆìÏÜã
tAqߧ9$#
ôs)sù
tí$sÛr&
©!$#
(
`tBur
4¯<uqs?
!$yJsù
y7»oYù=yör&
öNÎgøn=tæ
$ZàÏÿym
ÇÑÉÈ
80. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati
Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka[321].
[321] Rasul tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan mereka
dan tidak menjamin agar mereka tidak berbuat kesalahan.
Contoh
surah di atas adalah salah satu contoh dari perintah Allah SWT bagi umat Islam
untuk mematuhi Rasululah SAW. dan dari sisi yang kedua, sunnah sebagai fungsi
terhadap Al-Qur’an. Maksudnya adalah sunnah sebagai penjelas dari Al-Qur’an.
Al-Qur’an yang bersifat dasar dan pokok memerlukan undang-undang dan pelaksana
agar dapat diberlakukan, maka ketentuan-ketentuan Al-Qur’an yang bersifat dasar
dan pokok itu pun memerlkan penjelasan lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan,
atau lebih jelasnya penjelasan itu ada dalam sunnah. Hal ini disebutkan dalam
surah An-Nahl(16):64[15]
!$tBur
$uZø9tRr&
y7øn=tã
|=»tGÅ3ø9$#
wÎ)
tûÎiüt7çFÏ9
ÞOçlm;
Ï%©!$#
(#qàÿn=tG÷z$#
ÏmÏù
Yèdur
ZpuH÷quur
5Qöqs)Ïj9
cqãZÏB÷sã
ÇÏÍÈ
64.
dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Berdasarkan
fungsi sunnah sebagai penjelas terhadap A-Qur’an, maka sebagai sumber hukum
islam sunnah menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Sebagai penjelas
Al-Qur’an (al-bayan) sunnah terdapat tiga ketegorikan sebagai berikut:
1)
Menjelaskan maksud ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an
2)
Men-takhsish ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum
3)
Mengukuhkan dan mempertegas kembali ketentuan-ketentuan
yang terdapat daam Al-Qur’an
4)
Menetapkan hukum baru yang memuat zhahirnya tidak di
dalamAl-Qur’an
3.
Al-Ijma’
Ijma’ dalam pengertian
Bahasa adalah ketepatan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat
sesuatu.[16]
Sedangkan ijma’ secara terminologi
adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah semua mujtahid Muslim,
berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi.[17]
Ijma’ itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid yang ada pada masa
itu dan bukan berarti kesepakatan semua mujtahid sampai hari kiamat.
Syarat-syarat Ijma’
Ijma’
tidak dilakukan oleh sembarangan orang, ijma’ dilakukan oleh para mujtahid
Muslim yang ada dimasanya, maka ijma’ mempunyai beberapa syarat sebagai
berikut:
a) Tetap
melalui jalan yang shahih, yaitu dengan kemasyhurannya di kalangan ulama, dan
yang meriwayatkannya orang yang terpercaya serta luas ilmunya.
b) Tidak
didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, jika didahului oleh hal itu,
maka bukanlah ijma’, karena perkataan tidak batal dengan kematian yang
mengucapkannya.[18]
Kehujjahan Ijma’
Kehujjahan
ijma’ ada dari beberapa golongan berargumentasi bahwa ijma’ bukan merupakan
hujjah syar’iyah, seperti golongan Syi’ah, Khawarijj, dan Mu’tazilah. Sedangkan
golongan Sunni berargumen bahwa ijma’ merupakan hujjah syar’iyah. Golongan
Sunni berargumen kepada Al-Qur’an di antaranya:
a) Surah
An-Nisa’ (4): 115:
`tBur
È,Ï%$t±ç
tAqߧ9$#
.`ÏB
Ï÷èt/
$tB
tû¨üt6s?
ã&s!
3yßgø9$#
ôìÎ6Ftur
uöxî
È@Î6y
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
¾Ï&Îk!uqçR
$tB
4¯<uqs?
¾Ï&Î#óÁçRur
zN¨Yygy_
(
ôNuä!$yur
#·ÅÁtB
ÇÊÊÎÈ
115.
dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
[348] Allah biarkan mereka bergelimang dalam
kesesatan.
Dalam ayat ini “jalan-jalan orang
mukmin” diartikan sebagai apa yang telah disepakati untuk dilakukan oleh orang
mukmin.[19]
b) Surah
Ali Imran (3): 110
öNçGZä.
uöyz
>p¨Bé&
ôMy_Ì÷zé&
Ĩ$¨Y=Ï9
tbrâßDù's?
Å$rã÷èyJø9$$Î/
cöqyg÷Ys?ur
Ç`tã
Ìx6ZßJø9$#
tbqãZÏB÷sè?ur
«!$$Î/
3
öqs9ur
ÆtB#uä
ã@÷dr&
É=»tGÅ6ø9$#
tb%s3s9
#Zöyz
Nßg©9
4
ãNßg÷ZÏiB
cqãYÏB÷sßJø9$#
ãNèdçsYò2r&ur
tbqà)Å¡»xÿø9$#
ÇÊÊÉÈ
110.
kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada
yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Alif lam bila ditempatkan pada jenis
menunjukkan berlaku secara umum. Kebenaran ini menghendaki/menyuruh mmereka
melakukan setiap yang makruf dan melarang mereka dari perbuatan yang munkar.[20]
Macam-macam
Ijma’
Dilihat dari segi dalil hukum, ijma
terbagi menjadi:
a)
Ijma’
Qath’i, yaitu ijma’ yang diketahui keberadaannya dikalangan
umat ini dengan pasti, sepeerti ijma’ atas wajibnya shalat lima waktu, dan haramnya zina. Ijma’ seperti ini
tidak ada seorang pun yang mengingkari ketetapannya dan kebenarannya sebagai
hujjah, dan dikafirkan orang yang menyelisihinya jika ia bukan orang yang
mengetahuinya.
b)
Ijma’
Dhzanni, yaitu ijma‘ yang tidak diketahui kecuali dicari dan
dipelajari (tatabbu’ dan istiqra’). Dan para ulama berbeda
pendapat mengenai ijma’ ini, dan pendapat yang paling kuat adalah pendapat Ibnu
Taimiyah dalam kitab al-aqidah
al-wasitiyah, bahwa ijma yang dapat diterima dengan pasti adalah ijma’
salafus shalih, karena setelah mereka terjadi banyak ikhtilaf dan umat islam sudah tersebar.[21]
Sanad
(Sandaran) Ijma’
Dalam
menetapkan suatu hukum syar’iyah maka sudah menjadi hal wajib mempunyai
sandaran yang pasti. Ijma’ menjadi sumber atau dalil hukum islam harus
mempunyai sandaran yang dijadikan landasan,[22]
dan ijma’ yang tidak berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah maka ijma’ tersebut
adalah salah. Firman Allah SWT dalam surah Al-Isra’ (17):36:
wur
ß#ø)s?
$tB
}§øs9
y7s9
¾ÏmÎ/
íOù=Ïæ
4
¨bÎ)
yìôJ¡¡9$#
u|Çt7ø9$#ur
y#xsàÿø9$#ur
@ä.
y7Í´¯»s9'ré&
tb%x.
çm÷Ytã
Zwqä«ó¡tB
ÇÌÏÈ
36. dan janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Contoh ijma’ yang berlandaskan Al-Qur’an
adalah keharaan menikahi nenek dan cucu perempuan, ini berlandaskan dalam surah
an-Nisa (4):23:[23]
4. Qiyas
Sumber
atau dalil hukum islam yang disepakati selanjutnya adalah Qiyas. Secara Bahasa qiyas adalah mengukur atau membandingkan,
sedangkan secara terminologi menurut Abdul Wahhab Khalaff Qiyas adalah
menyamakan suatu kasus yang tidak terdapat hukumnya dalam nash dengan kasus
yang hukumnya terdapat dalam nash, karena adanya persamaan illat dalam kasus
itu.[24]
Maka dapat diketahui bahwa hakikat qiyas adalah:
a)
Ada dua kasus
yang mempunyai ‘illat yang sama.
b) Satu
diantara dua kasusu yang bersamaan ‘ilatnya itu sudah ada hukumnya yang
ditetapkan berdasarkan nash, sedangkan yang satu lagi belum diketahui hukumnya.
c) Berdasarkan
‘ilat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada
nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah
ditetapkan berdasarkan nash.[25]
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam
qiyas yaitu: al-ashl (dasar; pokok), al-far’u (cabang), hukum ashl, dan ‘illah.[26]
Tingkatan-tingkatan
Qiyas
Qiyas terbagi menjadi beberapa
tingkatan, tengkatan-tingkatan qiyas ditinjau dari beberapa segi, yaitu dari
segi kejelasan, kekuatan, penyebutan, keserasian ‘illah, dan dari segi metode
penemuan ‘illahnya. Di bawah ini akan dijelasakan tiga tingkatan qiyas yang
disebut pertama.
Ditinjau dari segi kejelasan ‘illahnya,
qiyas dapat dibagi menjadi dua bagian:
a)
Qiyas
al-jali (qiyas yang nyata). Qiyas ini terbagi lagi
menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:
1. Suatu
qiyas yang hukumnya bersifat nyata karena disebutkan oleh nashsh.
2. Suatu
qiyas yang ‘illahnya tidak deisebutkan di dalam nashsh, tetapi tidak ada kesamaran untuk mengetahui persamaan
‘illah itu di dalam al-ashl dan al-far’u.
b) Qiyas al-khafi
(qiyas yang tersembunyi), yaitu qiyas yang ‘illahnya tidak
disebutkan di dalam nashsh secara
nyata, sehingga untuk menemukan ‘illah hukumnya memerlukan ijtuhad.
Selanjutnya qiyas yang ditinjau dari
segi kekuatan atau lemahnya ‘illah yang terdapat dalam al-far’u dibandingkan dengan ‘illah yang terdapat pada al-ashl tingkatan qiyas terdiri atas
tiga tingkatan, yaitu:
a) Qiyas al-Awla (qiyas yang lebih utama), adalah qiyas
yang ‘illahnya pada al-far’u lebih
kuat dibandingkan dengan al-ashl, sehingga
penerapan hukum yang terdapat pada al-ashl
lebih utama diterapkan pada al-far’u.
b) Qiyas al-Musawi (qiyas yang setara), adalah qiyas yang
memiliki kekuatan ‘illah yang sama, yang terdapat pada al-ashl dan al-far’u, sehingga
hukumnya sama pada keduanya.
c) Qiyas al-Adna (qiyas yang lebih rendah), adalah qiyas
yang ‘illah hukum yang terdapat pada al-far’u
lebih lemah daripada ‘illah yang
terdapat pada al-ashl. Meskipun
‘illah hukumnya lebih lemah, namun ketentuan hukum yang terdapat pada al-ashl tetap memenuhi syarat untuk
diterapkan pada al-far’u.
Tingkatan ‘illah ditinjau dari segi
disebutkan atau tidaknya disebutkannya ‘illah
tersebut dalam al-ashl, dapat
dibagi pada dua tingkatan, yaitu qiyas
al-‘illah dan qiyas al-ma’na:
a) Qiyas al-‘illah,
yaitu
qiyas yang ‘illah-nya disebutkan secara jelas dalam al-ashl. Berasarkan al-ashl yang
‘illah-nya jelas inilah diterapkan hukumnya kepada al-far’u yang juga memiliki ‘illah yang sama terdapat di dalamnya.
b) Qiyas al-ma’na, yaitu
qiyas yang tidak disebutkan secara jelas ‘illah-nya dalam al-ashl, tetapi dapat dipahami dengan jelas adanya sesuatu yang
menurut logika hukum bahwa ia adalah ‘illah hukum tersebut. ‘Illah ini kemudian
menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada al-far’u
yang memiliki persamaan ‘illah.[27]
Landasan
Qiyas sebagai Dalil Hukum
Kedudukan qiyas sebagai dalil penetapan hukum
dipahami oleh jumhur ulama dari beberapa nashsh Al-Qur’an dan Sunnah serta atsar ash-shahabi.[28]
a)
Al-Qur’an
Sebagai contoh firman Allah dalam surah
An-Nisa(4):59:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
(
bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4
y7Ï9ºs
×öyz
ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Melalui ayat di atas Allah
memerintahkan, jika terjadi perbedaan pendapat tentang suatu masalah di antara
kaum muslimin, agar mencari penyelesaiannya dengan merujukkannya kepada Allah
(Al-Qur’an) dan kepada Rasulullah (Sunnah), dengan metode qiyas.[29]
b)
Sunnah
Dalil pengguanaan qiyas yang berasal
dari Sunnah, diriwayatkan oleh al-Bukhari[30]
adalah sebagai berikut:
Dari
Ibnu Abbas r.a bahwa seorang wanita menghadap Rasulullah SAW dan bertanya
tentang kewajiban puasa ibunya selama sebulan yang belum ditunaikan oleh ibunya
itu: “Apakah saya dapat melaksanakannya atas namanya? Maka Rasulullah SAW balik
bertanya: “Jika ibumu mempunyai utang, apakah Anda akan membayarnya?” Wanita
itu menjawab: “Benar” Rasulullah SAW bersabda: “Utang kepada Allah lebih berhak
untuk dilunasi”.
Hadis diatas menggambarkan bahwa
Rasulullah SAW sendiri menjawab pertanyaan dengan cara meng-qiyas-kan antara utang kepada sesame
manusia dan utang kepada Allah SWT. Karena itu qiyas merupakan salah satu
institusi yang legal dalam menetapkan hukum Islam.[31]
c)
Dalil
Atsar ash-Shahabi
Dalil qiyas yang berasal dari atsar ash-shahabi salah satunya adalah
sebagai berikut:
Surat Umar R.A kepada Abu Musa R.A
Ketika Abu Musa asy-‘Asy’ari diangkat
oleh Khalifah Kedua, Umar bin al-Khaththab, menjadi hakim di Yaman, Umar
memberikan arahan kepadanya tentang langkah-langkah yang perlu diambil dalam
memutuskan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, terutama perkara-perkara
yang tidak terdapat ketentuan nashsh yang
mengaturnya secara jelas. Surat Umar yang isinya adalah:
Pahamilah sebaik-baiknya masalah-masalah
yang membuat hatimu ragu dan gelisah kerena masalah tersebut tidak sampai
informasinya kepadamu (tidak engkau temukan), baik di dalam Al-Qur’an maupun
Sunnah. Kenalilah sebaik-baiknya masalah-masalah yang serupa dan mirip dengan
ketentuan yang telah ada, kemudian qiyas-kanlah (kepadanya) masalah yang engkau
hadapi. Kemudian tetapkanlah hukum berdasarkan yang paling disukai Allah dan
yang paling mirip dengannya di antara pendapatmu yang ada.
Surat Umar di atas menegasakan perintah
kepada Abu Musa ketika ia tidak menemukan aturan nashsh dari suatu masalah hukum yang dihadapinya, untukmeng-qiyas-kan hukum masalah tersebut kepada hukum
masalah serupa yang terdapat dalam nashsh
Al-Qur’an ataupun Sunnah yang mengaturnya, karena adanya kesamaan ‘illah
antara keduanya.[32]
KESIMPULAN
Dari pembahasan sumber dan dalil
hokum islam di atas maka dapat dambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
merupakan sumber dan dalil hokum islam yang dasar atau pokok, maka dalam hal
ini Al-Qur’an memerlukan adanya penjelasan (al-bayan).
Dalam Al-Qur’an semua masalah hokum tidak dijelaskan secara terperinci karena
selain termasuk dalam kemukjizatan Al-Qur’an, hal ini juga untuk memadukan
dalam setiap kondisi di setiap zaman, tempat dan sosio cultural umat Islam di
dunia.
2. Sunnah merupakan
sumber dan dalil hokum islam yang mana posisi Sunnah sebagai penjelas (al-bayan) bagi Al-Qur’an. Sunnah yang
merupakan hasil dari perkataan, perbuatan dan sikap persetujuan dari Rasulullah
SAW menempati posisi kedua sebagai sumber dan dalil hokum islam.
3. Ijma’ sebagai
dalil hokum islam adalah ketetapan-ketetapan yang dilakukan oleh para mujtahid
Muslim. Ijma’ menjadi dalil hokum islam tidak mungkin tidak bersandarkan pada
Al-Qur’an dan Sunnah, karena bila ijma’ tidak bersandarkan atas kedua sumber
dan dalil hokum islam tersebut tidak bias dikatakan sebagai ijma’.
4. Qiyas adalah
membandingkan sesuatu dengan sesuatu. Perumpamaan qiyas adalah membandingkan
suatu perkara yang sudah terjadi pada zaman Nabi dan sekarang dan akan tetap
dikembalikan dengan berlandaskan Al-Qur’an.
Maka yang dinamakan sumber dan dalil hokum islam
adalah, yang menjadi sumber hokum islam sudah pastilah sebagai dalil hokum
islam dan yang menjadi dalil hokum islam belum tentu menjadi sumber hokum
islam.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini penyusun
buat, penyusun menyadari banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, karena
kesalahan milik manusia dan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shdieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT.
PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1997)
Mardani, Dr, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, Ed. 1, cet. 1, 2013)
Dahlan, Abd Rahman, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, Ed. 1, cet, 3, 2014)
Khalaff, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Maktabbah al-Da’wah al-Islamiyah Syabab
al-Azhar, 1410/1990M, cet. 8)
Zuhali, Wahbah, Ushul
al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1406 H/1986 M, Juz 1, cet. 1)
Hallaq, Wael B, A History of Islamic Legal Theoris, Sejarah Teori Hukum Islam, Penerjemah: E
Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid (Jakarta: Rajawali Press, 2001, cet.
2)
Ma’luf, Louwis, al-Minjid
fi al-Lughah wa al-I’lam
Al-Utsmaini, Muhammad bin Saleh, al-Ushul min Ilmi al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, Tth)
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: KENCANA, Ed.1, cet. 4, 2009)
[1] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar
Ilmu Fiqh, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm.172
[2] Abdul Wahhab Khallaf, loc. Cit., hlm.20.
[3] Wahbah Zuhali, Ushul Fiqh al-Islami, loc.cit., hlm.417.
[4] Ramli SA, Muqaranah Madzhab fil Ushul (Jakarta:Gaya Media
Pratama, 1999) hlm. 42
[5] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar
Ilmu Fiqh, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm.174
[6] Firman daam surat Al-Baqarah ayat 185 dan dalam surat Al-Hajj ayat
78
[8] Wael B. Hallaq, loc.cit., hal.4-5. Tentang ayat-ayat hukum,
dapat dilihat Mardani, Ayat-ayat Tematik Hukum Islam (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011)
[11] Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il, Shahih
al-Bukhari, Beirut: Dar al-Qalam, tt, hadis nomor 12.
[12] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadis nomor 969.
[13] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari. Hadis nomor 4981.
[16] Louwis Ma’luf, al-Munjid fi
al-Lughah wa al I’lam., hlm.101.
[18] Muhammad bin Shaleh al-Utsmani, ibid., hlm.66.
[19] Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, Ed. 1, Cet. 1, 2013), hlm.167
[21] Muhammad bin Shalih al-Utsmani, loc. cit., hlm.65-66.
[24] Abd Wahhab Khallaf, Ushul
Fiqh, loc. cit., hlm.52.
[30] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadis
nomor 2878.
Komentar
Posting Komentar