- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Masalah
Pendidikan saat ini masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu biaya. Biaya
kerap menjadi penghambat keinginan dalam proses belajar terutama di peruguruan
tinggi. Belum lagi peraturan terbaru - tiga tahun lalu - mengenai biaya
perkuliahan yang diatur dalam Peraturan Menteri Riset, Teknlogi, dan Pendidikan
Tinggi Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan
Uang Kuliah Tunggal di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi yang kemudian kerap menjadi bulan-bulanan mahasiswa ketika tahun ajaran
baru.
Namun pada kali
ini penulis tidak akan membahas mengenai peraturan tersebut dan beberapa aksi
mahasiswa senior yang membela adik-adiknya untuk tetap dapat belajar di bangku
perkuliahan dengan nominal UKT yang tinggi. Pada kali ini penulis akan membahas
mengenai dengan proses belajar dan biaya kuliah yang tinggi kerap menjadi
bayang-bayang semu dan menghantui mahasiswa. Biaya kuliah sudah tinggi, harapan
orang tua untuk segera lulus dan dapat membantu perekonomian keluarga, belum
lagi apakah program studi yang diambil sudah pasti menjadi jaminan masa depan
yang cerah.
Pertama, biaya
kuliah yang tinggi tidak pula dibarengi dengan fasilitator penunjang
Pendidikan. Missal saja dosen pengampu mata kuliah. Terkadang kapasitas dan
kualitas yang dimiliki oleh dosen mengajar dan juga metode pembelajaran yang
kerap menjadi keluhan mahasiswa. Belum lagi ketika diajar oleh dosen yang –
maaf – kolot ketika dikritik oleh sebagian mahasiswa di kelas. Hal ini menjadi
mempengaruhi mahasiswa di kelas dalam aspek kenyamanan berdialektika dengan
dosen. Menurut penulis, semakin menerima dosen untuk dikritik dan semakin mudah
dosen diajak berbicara hal-hal ringan, dari sinilah kemudian mahasiswa merasa
nyaman dan kemudian dapat menerima yang diajarkan oleh dosen tersebut.
Namun di sisi
lain, dosen yang terkadang kerap mempertahankan posisinya sebagai yang lebih di
atas ketika mengajar menjadi hambatan mahasiswa untuk lebih lantang dalam
berdialog dengan dosen. Kelantangan ini bukan berarti tidak mengindahkan etika,
sebagai mahasiswa pun seharusnya sudah sadar akan pentingnya moral ketika
bercakap dengan orang yang lebih memiliki pengetahuan yang tinggi dibandingan
dirinya.
Kedua, harapan
orang tua yang menginginkan anaknya segera lulus dan segera memperoleh
pekerjaan untuk membantu perekonomian. Ya,hal ini tidak mungkin tidak. Akan
tetapi juga akan berdampak pada tekanan psikologis anak yang merasa menjadi
tonggak utama masa depan keluarga. Lebih berbahaya lagi adalah ketika kalimat
tersebut tertanam dalam-dalam di pikiran sebuah pragmatisme yang kemudian
muncul. Perlu disadari, dalam sebuah proses belajar di perguruan tinggi bagi
penulis tidak cukup hanya sekedar mengandalkan bangku kuliah dan ceramah dosen.
Tidak ada bedanya dengan siswa dan jamaah pengajian.
Proses belajar
di perguruan tinggi memang berbeda dengan bangku sekolah menengah atau sekolah
dasar. Kita sebagai mahasiswa dituntut untuk lebih aktif, dalam artian tidak
hanya aktif di ruang kuliah Bersama teman-teman sekelas namun juga aktif dalam
segala hal. Jujur saja, penulis tidak akan dapat menulis sepanjang ini kalau
tidak belajar di luar ruang kelas. Karena di dalam kelas kita hanya
diperintahkan untuk mendengarkan dan ketika mendapat tugas kemudian dikerjakan.
Jawabannya, aktif di organisasi atau beberapa elemen di luar kampus menjadi
salah satu cara yang tepat.
Kembali pada
pembahasan, harapan orang tua untuk segera lulus dan bekerja memang terkadang
menjadi hal yang sulit dilakukan. Nyatanya, tidak jarang yang setelah wisuda
masih saja berkeliaran di kampus. Untung hanya berkeliaran bisa saja untuk
meminta legalisir ijazah atau menemui dosen, tapi kalau masih ikut-ikutan
nongkrong, wallahu ‘alam.
Pertanyaannya, yang menjadi salah apakah
harapan orang tuanya atau memang sulit mencari pekerjaan? Tidak semua.
Bagi penulis, kampus adalah tempat untuk menanam, memupuk dan merawat masa
depan. Maka, jangan salah kalau masih saja banyak dari mahasiswa yang sudah
lulus kemudian belum mendapatkan tempat untuk memperoleh nafkah untuk orang tua
dan keluarganya.
Harapan
semua orang tua memang seperti itu namun tinggal kita sebagai tokoh yang
melakukan. Dalam rangka melaksanakan cita-cita orang tua banyak cara yang dapat
dilakukan dengan syarat “aktif”. Jangan harap ketika tidak menjadi manusia yang
aktif akan memperoleh tempat dikemudian hari. Sembari kita melaksanakan harapan
orang tua tetaplah berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hidup Mahasiswa!!!
Komentar
Posting Komentar