- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
PENANGANAN PASCA PANEN TANAMAN PERKEBUNAN
Disusun Oleh :
Agung Retno S. (01)
Agus Arifin (02)
Arifuzaki Ulil A. (07)
Ratri Meilina S. (26)
Richi K (28)
Sugiarto (30)
Kelas :
3Agronomi3
SMK N 1 ( STM Pembangunan ) TEMANGGUNG
2012 / 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa,atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “MENANGANI PASCA
PANEN TANAMAN PERKEBUNAN”.
Pekerjaan kami tak lepas dari kerja keras dan bantuan dari
pihak-pihak yang mendukung kami, maka dari itu penyusun mengucapkan terima
kasih kepada:
1.
Ibu
Nur Achsaniah selaku guru pembimbing dan guru mata diklat “MENANGANI
PASCA PANEN TANAMAN PERKABUNAN”
2.
Orang tua yang telah memberikan dorongan
mental maupun finansial.
3.
Rekan-rekan yang telah bekerjasama untuk lancarnya penyusunan tugas ini.
Atas
kerja sama yang telah kami lakukan,sehingga makalah ini telah selesai disusun.
Kami menyadari bahwa dalam setiap pekerjaan kami masih banyak kesalahan dan
kekeliruan,untuk itu kritik dan saran anda sangat kami harapkan. Jika ada
hal-hal yang kurang berkenan dihati anda, kami mohon maaf.
Temanggung,
18 Januari2013
(
Penyusun )
MENANGANI PASCA PANEN TANAMAN PERKEBUNAN
A.
Tanaman
Kelapa Sawit
Hasil terpenting dari tanaman kelapa
sawit adalah minyak sawit yang diperoleh dari ekstraksi daging buah (pericarp).
Hasil lain yang tidak kalah pentingnya adalah minyak inti sawit atau kernel
yang juga diperoleh dengan cara ekstraksi.
Pertama tandan buah diletakkan di
piringan. Buah yang lepas disatukan dan dipisahkan dari tandan. Kemudian
tandan buah dibawa ke Tempat Pengumpulan Buah (TPH) dengan truk tanpa ditunda.
Di TPH tandan diatur berbaris 5 atau 10. Buah kelapa sawit harus segera
diangkut ke pabrik untuk segera diolah. Penyimpanan menyebabkan kadar asam
lemak bebas tinggi. Pengolahan dilakukan paling lambat 8 jam setelah panen.
Di pabrik buah akan direbus,
dimasukkan ke mesin pelepas buah, dilumatkan didalam digester, dipres dengan
mesin untuk mengeluarkan minyak dan dimurnikan. Sisa pengepresan berupa ampas
dikeringkan untuk memisahkan biji dan sabut. Biji dikeringkan dan dipecahkan
agar inti (kernel) terpisah dari cangkangnya.
Tahapan dari pengolahan buah kelapa sawit adalah sebagai
berikut:
1.
Perebusan
(sterilisasi) TBS
TBS yang masuk ke dalam pabrik
selanjutnya direbus di dalam sterilizer. Buah direbus dengan tekanan
2,5-3 atm dan suhu 130 oC selama 50-60 menit. Tujuan perebusan
TBS adalah:
- Menonaktifkan enzim Lipase yang
dapat menstimulir pembentukan free fatty acid
- Membekukan protein globulin sehingga minyak mudah dipisahkan dari air
- Mempermudah perontokan buah
- Melunakkan buah sehingga mudah diekstraksi
- Membekukan protein globulin sehingga minyak mudah dipisahkan dari air
- Mempermudah perontokan buah
- Melunakkan buah sehingga mudah diekstraksi
2. Perontokan Buah
Dalam tahap ini buah selanjutnya
dipisahkan dari tandannya dengan menggunakan mesin thresher. Tandan
kosong disalurkan ke tempat pembakaran atau digunakan sebagai bahan pupuk
organik. Sedangkan buah yang telah dirontokkan selanjutnya dibawa ke
mesin pelumatan. Selama proses perontokan buah, minyak dan kernel yang
terbuang sekitar 0.03%.
3. Pelumatan Buah
Proses pelumatan buah adalah dengan
memotong dan mencacah buah di dalam steam jacket yang dilengkapi dengan pisau
berputar. Suhu di dalam steam jacket sekitar 85-90 oC.
Tujuan dari pelumatan buah adalah :
Tujuan dari pelumatan buah adalah :
- Menurunkan kekentalan minyak
- Membebaskan sel-sel yang mengandung minyak dari serat buah
- Menghancurkan dinding sel buah sampai terbentuk pulp
- Membebaskan sel-sel yang mengandung minyak dari serat buah
- Menghancurkan dinding sel buah sampai terbentuk pulp
4. Pengempaan (ekstraksi minyak sawit)
Proses pengempaan bertujuan untuk
membantu mengeluarkan minyak dan melarutkan sisa-sisa minyak yang terdapat di
dalam ampas. Proses pengempaan dilakukan dengan melakukan penekanan dan
pemerasan pulp yang dicampur dengan air yang bersuhu 95 oC. Selain
itu proses ekstraksi minyak kelapa sawit dapat dilakukan dengan cara
sentrifugasi, bahan pelarut dan tekanan hidrolis.
5.
Pemurnian (klarifikasi minyak)
Minyak kelapa sawit yang dihasilkan
dari mesin ekstraksi minyak sawit umumnya masih mengandung kotoran berupa
tempurung, serabut dan air sekitar 40-45% air. Untuk itu perlu dilakukan
pemurnian minyak kelapa sawit. Persentase minyak sawit yang dihasilkan
dalam proses pemurnian ini sekitar 21%. Proses pemurnian minyak
kelapa sawit terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
a. Pemurnian minyak di dalam tangki
pemisah (clarification tank)
Prinsip dari proses pemurnian minyak
di tangki pemisah adalah melakukan pemisahan bahan berdasarkan berat jenis
bahan sehingga campuran minyak kasar dapat terpisah dari air.
b. Sentrifusi minyak
Dalam tahap ini minyak dimurnikan
dari berbagai macam kotoran yang lebih halus lagi. Hasil akhir dari
proses sentrifusi ini adalah minyak dengan kadar kotoran kurang dari 0,01%.
c. Pengeringan hampa
Dalam tahap ini kadar air minyak
diturunkan sampai 0,1%. Proses pengeringan hampa dilakukan dalam kondisi
suhu 95 oC dan tekanan -75 cmHg.
d. Pemurnian minyak di dalam tangki
lumpur
Proses pemurnian di dalam tangki
lumpur bertujuan untuk memisahkan minyak dari lumpur.
e. Strainer
Dalam tahap ini minyak dimurnikan
dari sampah-sampah halus.
f. Pre Cleaner
Proses pre cleaner bertujuan untuk
memisahkan pasir-pasir halus dari slude.
g. Sentrifusi lumpur
Dalam tahap ini minyak dimurnikan
kembali dari air dan kotoran. Prinsip yang digunakan adalah dengan
memisahkan bahan berdasarkan berat jenis masing-masing bahan.
h. Sentrifusi Pemurnian minyak
Tahap ini hampir sama dengan
sentrifusi lumpur, hanya putaran sentrifusi lebih cepat.
i. Pengeringan minyak
Dalam proses pengeringan minyak
kadar air yang terkandung di dalam minyak diturunkan. Proses ini
berlangsung dalam tekanan -75 cmHg dan suhu 95 oC.
6. Pemisahan Biji Dengan Serabut (Depeicarping)
Ampas buah yang masih mengandung
serabut dan biji diaduk dan dipanaskan sampai keduanya terpisah.
Selanjutnya dilakukan pemisahan secara pneumatis. Serabut selanjutnya
dibawa ke boiler, sedangkan biji disalurkan ke dalam nut cleaning atau
polishing drum. Tujuannya adalah agar biji bersih dan seragam.
7. Pengeringan Dan Pemisahan Inti Sawit Dari Cangkang
Setelah dipisahkan dari serabut
selanjutnya biji dikeringkan di dalam silo dengan suhu 56 oC selama
12-16 jam. Kadar air biji diturunkan sampai 16%. Proses pengeringan
mengakibatkan inti sawit menyusut sehingga mudah untuk dipisahkan. Untuk
memisahkan inti sawit dari tempurungnya digunakan alat hydrocyclone separator.
Setelah terpisah dari tempurungnya inti sawit selanjutnya dicuci sampai
bersih. Proses selanjutnya inti dikeringkan sehingga kadar airnya tinggal
7,5%. Proses pengeringan dilakukan dalam suhu di atas 90 oC
B.
Tanaman Kakao
a.
Teknik Memetik Buah Kakao
Untuk memanen kakao digunakan pisau tajam. Jika buah
tinggi maka pisau disambungkan dengan bambu. Pisau berbentuk huruf L, dengan
bagian tengah agak melengkung. Selama memanen buah kakao harus diusahakan untuk
tidak melukai batang/cabang yang ditumbuhi buah. Pelukaan akan mengakibatkan
bunga tidak akan tumbuh lagi pada tempat tersebut untuk periode berikutnya.
b.
Fermentasi
Tujuan utama fermentasi adalah untuk mematikan biji
sehingga perubahan-perubahan di dalam biji akan mudah terjadi, seperti warna
keping biji, peningkatan aroma dan rasa, serta perbaikan konsentrasi keping
biji.
Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam proses fermentasi adalah:
(a) jumlah biji
(b) tempat fermentasi
(c) tebal lapisan biji dan pengadukan.
Suhu optimal dalam proses fermentasi adalah 48 - 50oC.
Untuk mencapai suhu itu diperlukan ketebalan biji tertentu. Agar fermentasi
terjadi secara merata pada seluruh biji diperlukan pengadukan. Pengadukan
biasanya dilakukan dua atau tiga kali tergantung tebal lapisan biji.
c.
Perendaman
Dan Pencucian
Tujuan perendaman ialah:
(a) untuk meningkatkan persentase biji bulat dan berat
biji
(b) untuk mengurangi keasaman biji kakao kering
(c) untuk memperbaiki warna kulit biji.
Selain itu
perendaman biji juga bertujuan untuk , menghentikan proses fermentasi,
memperbaiki penampakan biji, mengurangi asam cuka yang timbul, dan mengurangi
warna hitam pada biji.
Perendaman
dilakukan dalam air selama ± 3 jam. Alat yang digunakan adalah terbuat dari
kayu berukuran 200 x 100 x 90 cm, tetapi tidak berlubang- lubang yang memuat
biji bersih ± 1 ton dan air untuk merendam. Bisa pula dipergunakan bak porselin
(tetapi terlalu mahal).
d.
Pengeringan
Tujuan pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air
dari biji sampai mencapai 4 - 6 % dan mendapatkan warna kulit biji yang baik
(merah cokelat dan mengkilat) serta merata. Pengeringan dapat dilakukan dengan
cara:
1. Dijemur
pada sinar matahari langsung (sundrying),
2.
Menggunakan alat pengering buatan (artificial drying)
3. Kombinasi
antarasundrying dan artificial drying.
Pada perkebunan besar biasanya menggunakan cara
kombinasi. Pada prinsipnya penjemuran adalah cara pengeringan yang lebih baik,
namun karena mungkin cuaca yang berubah-ubah dan jumlah yang dikeringkan
banyak, maka lebih sering digunakan cara kombinasi tersebut
Pada pengeringan dengan panas matahari biji kakao
dihamparkan pada lantai jemur dengan ketebalan 5 cm (2 - 3 lapis
biji). Penggunaan alas pada lantai jemur seperti kepang atau tikar
akan menghasilkan biji kering lebih baik daripada langsung dihamparkan di atas
lantai semen. Selama penjemuran diadakan pembalikan 1-3 jam sekali. Pada saat
hujan dan pada saat malam hari sebaiknya biji diangkat dari tempat penjemuran.
Lama penjemuran tergantung pada cuaca (intensitas penyinaran, awan dan hujan).
Pada umumnya dengan cuaca yang baik (cerah) waktu penjemuran antara 5 - 7 hari.
Apabila cuaca kurang baik, misalnya terjadi hujan atau berawan maka pengeringan
kurang sempurna sehingga biji berjamur dan bermutu rendah.
Dengan alat pengering barico drier biji kakao dihamparkan
pada kasa, selanjutnya dihembusi udara panas 35 - 45oC dari bagian
bawah, selama 32 jam dengan pembalikan biji setiap 3 jam. Pada tahap berikutnya
biji dimasukkan ke dalam peti pengering selama 24 jam dan dipanasi dengan suhu
46 - 50oC.
e.
Sortasi
Sortasi biji dilakukan berdasarkan pada berat biji,
kemurnian, warna, bahan ikutan dan jamur. Dalam menentukan kualitas biji
faktor-faktor seperti kulit ari, kadar lemak, dan kadar air turut
diperhitungan..
Sortasi biji
dilakukan secara visual, dengan membuang biji-biji yang jelek dan rendah
mutunya. Sebanyak akar pangkat dua dari sejumlah karung diambil (maksimum 30
karung) sebagai contoh. Dari tiap karung diambil 500 gram untuk keperluan
analisis mutu biji kakao.
f.
Penyimpanan
Biji yang telah disortasi, dimasukkan ke dalam karung
goni dengan berat maksimum 60 kg. Penyimpanan biji dapat dilakukan selama tiga
bulan tanpa merusak mutu biji. Penyimpanan yang lebih dari tiga bulan biasanya
menyebabkan biji ditumbuhi jamur dan asam lemak bebasnya meningkat.
Beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan adalah sebagai berikut.
a. Biji
sebaiknya dikemas dalam karung goni yang bersih dan kuat lalu
dijahit dengan rapi.
b. Kadar
air biji kakao antara 6 - 7 %.
c. Tempat
penyimpanan harus bersih, ventilasi baik dan tidak berbau kurang sedap (berbau
tajam), karena biji kakao mudah menyerap bau di sekitarnya. Selain itu, ruangan
juga harus bebas hama gudang.
d. Tumpukan
karung goni diberi alas kayu dengan jarak ± 10 cm dari lantai.
Kakao
merupakan komoditas perkebunan yang penting bagi perekonomian nasional dengan
perannya sebagai sumber penghasil devisa negara, menciptakan lapangan kerja,
sumber pendapatan petani, pendorong perkembangan agroindustri dan agribisnis
serta pengembangan wilayah.
Luas
perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2009 mencapai 1.475.344 ha. Sentra
pertanaman kakao Indonesia tersebar di Sulawesi (63,3%), kemudian disusul
beberapa daerah lainnya seperti Sumatera (16,5%), NTT, NTB dan Bali (4,1 %),
Kalimantan (6,3%) serta Maluku dan Papua (7,2%). Sebagian besar (92,4%) areal
pertanaman kakao ini merupakan perkebunan rakyat dengan jumlah petani yang
terlibat secara langsung 80.999 KK.
Indonesia
menjadi produsen kakao kedua terbesar di dunia dengan produksi 758.412 ton per
tahun setelah Pantai Gading (1.380.000 ton per tahun). Ekspor kakao Indonesia
mencapai 515.523 ton dengan nilai US$ 1,266.91 juta pada tahun 2009, menjadikan
komoditas kakao sebagai penghasil devisa terbesar ketiga dalam sub sektor
perkebunan setelah kelapa sawit. Namun, kualitas biji kakao yang diekspor oleh
Indonesia dikenal sangat rendah (berada di kelas 3 dan kelas 4). Hal ini
disebabkan oleh penanganan pasca panen kakao belum dilakukan dengan baik dan
benar sehingga kakao yang dihasilkan oleh petani masih tercampur dengan
benda-benda asing, pengeringan kurang sempurna sehingga menyebabkan tumbuhnya
jamur serta volume biji kakao yang difermentasi relatif masih sedikit sehingga
para pedagang pengumpul mencampurkan antara kakao fermentasi dan non
fermentasi.
Petani
enggan melakukan fermentasi karena tidak ada perbedaan harga yang signifikan
antara biji kakao asalan dan biji fermentasi. Disatu sisi pembeli tidak mau
memberikan perbedaan harga karena jumlah biji yang difermentasi hanya sedikit.
Kegiatan fermentasi umumnya dilakukan oleh petani secara sporadis atau dalam
jumlah dan perlakuan yang berbeda satu sama lain, sehingga mengakibatkan biji
kakao yang difermentasi oleh petani belum dapat memenuhi baku standar yang
dopersyarakatkan.
Kualitas
rendah menyebabkan harga biji dan produk kakao Indonesia di pasar internasional
dikenai diskon USD200/ton atau 10%-15% dari harga pasar. Selain itu, beban
pajak ekspor kakao olahan (sebesar 30%) relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan beban pajak impor produk kakao (5%), kondisi tersebut telah menyebabkan
jumlah pabrik olahan kakao Indonesia terus menyusut (Suryani, 2007). Selain itu
para pedagang (terutama trader asing) lebih senang mengekspor dalam bentuk biji
kakao (non olahan).
Peningkatan
produksi kakao mempunyai arti yang strategis karena pasar ekspor biji kakao
Indonesia masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum tergarap.
Permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dengan
penerapan fermentasi pada pengolahan biji pasca panen dan pengembangan produk
hilir kakao berupa serbuk kakao. Selain itu dilaksanakan
kegiatan peningkatan mutu kakao melalui pembangunan unit pengolahan biji kakao
non fermentasi menjadi biji kakao fermentasi. Unit fermentasi biji kakao yang
dibangun dilengkapi dengan sarana pendukung seperti kotak fermentasi, mesin
pengering, alat ukur kadar air, timbangan duduk, bangunan unit pengolahan dan
bantuan modal kerja untuk pembelian kakao basah serta pelatihan pasca panen.
Kriteria
mutu biji kakao meliputi aspek fisik, cita rasa dan kebersihan serta tahapan
proses produksinya. Proses pengolahan buah kakao menentukan mutu produk akhir
kakao, karena dalam proses ini terjadi pembentukan calon cita rasa khan kakao
dan pengurangan cita rasa yang tidak dikehendaki, misalnya rasa pahit dan
sepat.
1. Sortasi Buah
Sortasi
buah meupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan, hal ini dilakukan untuk
proses pemilahan hasil panen yang masak dan yang baik dari buah yang rusak atau
cacat (terkena serangan hama dan penyakit) dan benda asing lainnya.
2.
Pemeraman atau Penyimpanan Buah
Tujuannya
adalah untuk mengurangi kandungan pulpa yang melapisi biji kakao karena dengan
pulpa yang berlebihan akan menghambat proses fermentasi. Tujuan lainnya yaitu
untuk menunggu terkumpulnya buah kakao mencapai 400-500 buah atau setara dengan
35-40 kg biji kakao basah, yang merupakan persyaratan minimal untuk proses
fermentasi dapat dilakukan. Pemeraman buah dilakukan dengan menimbun buah kakao
selama 5-12 hari atau tergantung kondisi tingkat kematangan buah. Buah
dimasukkan dalam keranjang atau karung goni dan atau diletakkan dipermukaan
tanah dengan diberi alas daun kering, kemudian permukaan tumpukan ditutup
dengan daun kering. Selama proses pemeraman agar selalu diawasi perkembangan
kematangan buah, hal ini untuk menghindari kerusakan atau pembusukan buah.
3. Pemecahan Buah
Pemecahan buah harus dilakukan dengan hati-hati agar biji
kakao yang dikeluarkan dari kulit buah dan plasentanya tidak rusak, tidak kotor
ataupun terjadinya perubahan warna menjadi kelabu atau kehitaman. Pemecahan
buah sebaiknya menggunakan pemukul kayu atau dengan memukulkan buah satu dengan
buah lainnya. Setelah buah terbelah, biji kakao diambil dari belahan buah dan
ikatan empulur (plasenta) dengan menggunakan tangan. Kebersihan tangan harus
sangat diperhatikan karena kontaminasi senyawa kimia dari pupuk, pestisida,
minyak dan kotoran dapat mengganggu proses fermentasi atau mencemari produk
akhirnya.
Biji yang sehat harus dipisahkan dari kotoran-kotoran maupun biji cacat,
sekaligus membuang empulur yang melekat di biji, yang selanjutnya ditampung
dalam ember plastik sebelum dimasukkan dalam kotak fermentasi yang terbuat dari
kayu. Proses ini harus dilakukan dengan cepat dan tepat, karena penundaan
proses pengolahan dapat berpengaruh negatif pada mutu akibat terjadi
pra-fermentasi secara tidak terkendali.
4.
Fermentasi Biji
Fermentasi merupakan suatu proses produksi suatu produk dengan mikroba sebagai
organisme pemroses. Fermentasi biji kakao merupakan fermentasi tradisional yang
melibatkan mikroorganisme indigen dan aktivitas enzim endogen. Fermentasi biji
kakao tidak memerlukan penambahan kultur starter (biang), karena pulp kakao
yang mengandung banyak glukosa, fruktosa, sukrosa dan asam sitrat dapat mengundang
pertumbuhan mikroorganisme sehingga terjadi fermentasi.
Tujuan fermentasi adalah untuk mematikan lembaga biji agar tidak tumbuh
sehingga perubahan-perubahan di dalam biji akan mudah terjadi, seperti warna
keping biji, peningkatan aroma dan rasa, perbaikan konsistensi keping biji
membentuk cita rasa khas coklat serta mengurangi rasa pahit dan sepat yang ada
di dalam biji kakao sehingga menghasilkan biji kakao dengan mutu dan aroma yang
khas serta warna coklat cerah dan bersih, untuk melepaskan selaput lendir serta
menghasilkan biji yang tahan terhadap hama dan jamur. Faktor yang harus
diperhatikan dalam proses fermentasi adalah :
1.
Berat biji kakao yang akan difermentasi minimal 40 kg. Hal ini terkait dengan
kemampuan untuk menghasilkan panas yang cukup sehingga proses fermentasi dapat
berjalan dengan baik.
2.
Setelah 48 jam proses fermentasi pengadukan atau pembalikan dilakukan.
3.
Lama fermentasi optimal adalah 4-5 hari (4 hari bila udara lembab dan 5 hari
bila udara terang). Proses fermentasi yang terlalu singkat (kurang dari 3 hari)
menghasilkan biji "slaty"berwarna ungu agak
keabu-abuan dan berstektur pejal. Sedangkan proses fermentasi yang terlalu lama
(lebih dari 5 hari) menghasilkan biji rapuh dan berbau kurang sedap atau
berjamur. Keduanya merupakan cacat mutu.
4.
Sarana fermentasi yang ideal adalah dengan menggunakan kotak dari kayu yang
diberi luang-lubang.
5.
Tinggi tumpukan biji kakao minimal 40 cm agar dapat tercapai suhu fermentasi
45-49oC.
Cara
fermentasi dengan kotak kayu :
a.
Biji kakao dimasukkan ke dalam peti pertama (tingkat atas) sampai ketinggian 40
cm, kemudian permukaannya ditutup dengan karung goni atau daun pisang kering.
b.
Setelah 48 jam (2 hari), biji kakao dibalik dengan cara dipindahkan ke peti
kedua sambil diaduk.
c.
Setelah 4 - 5 hari, biji kakao dikeluarkan dari peti fermentasi dan siap untuk
proses selanjutnya.
d.
Perendaman dan Pencucian Biji
Perendaman dna pencucian biji bukan merupakan cara yang baku,
namun dilakukan atas dasar permintaan pasar. Pencucian ditujukan untuk
mengurangi kadar kulit/pulpa atau kadar kotoran lain, dapat mempercepat proses
pengeringan serta memperbaiki penampakan biji. Biji direndam selama 1-3 jam,
kemudian dilakukan pencucian ringan secara manual atau mekanis.
e.
Pengeringan Biji
Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air biji kakao sampai 7,5 %
sehingga aman untuk disimpan. Pengeringan dapat dilakukan dengan cara
penjemuran (dilakukan diatas para-para atau lantai jemur, waktu penjemuran 7-9
hari), cara mekanis yaitu dengan menggunakan alat pengering (diperlukan waktu
40-50 jam), dan cara kombinasi (dilakukan penjemuran terlebih dahulu selama 1-2
hari atau tergantung cuaca hingga mencapai kadar air 12-30%, setelah biji kakao
dijemur kemudian dimasukkan ke dalam mesin pengering diperlukan waktu selama
15-20 jam untuk dapat mencapai kadar air maksimal 7,5%.
f.
Sortasi Biji Kering
Sortasi biji dimaksudkan untuk memilah biji kakao berdasarkan
ukuran dan memisahkan dari kotoran atau benda asing lainnya seperti batu,kulit
dan daun-daunan. Sortasi dilakukan dengan menggunakan ayakan atau mesin sortasi
yang memisahkan biji kakao berdasarkan ukuran.Sesuai dengan SNI biji kakao No.
2323-2008, biji kakao dikelompokkan ke dalam lima kriteria yaitu :
1. Mutu AA : Jumlah biji maksimum 85 per 100gram
2. Mutu A : Jumlah biji 86-100 per 100 gram
3. Mutu B : Jumlah biji 101-110 per 100 gram
4. Mutu C : Jumlah biji 111-120 per 100 gram
5. Mutu S : Jumlah lebih besar dari 120 biji pe 100 gram
5. Penyimpanan
1. Mutu AA : Jumlah biji maksimum 85 per 100gram
2. Mutu A : Jumlah biji 86-100 per 100 gram
3. Mutu B : Jumlah biji 101-110 per 100 gram
4. Mutu C : Jumlah biji 111-120 per 100 gram
5. Mutu S : Jumlah lebih besar dari 120 biji pe 100 gram
5. Penyimpanan
Biji kakao kering dimasukkan ke dalam karung goni. Tiap karung goni diisi 60 kg
biji kakao kering kemudian karung tersebut disimpan dalam ruangan yang bersih,
kering dan memiliki lubang pergantian udara. Antara lantai dan wadah biji kakao
diberi jarak ± 8 cm dan jarak dari dinding ± 60 cm. Biji kakao dapat disimpan
selama ± 3 bulan.
C.
Tanaman
Tembakau
Ø Sortasi,
Pemeraman, Penghilangan lbu Tulang Daun dan Penggulungan
Sortasi dilakukan dengan memisahkan daun-daun yang
kelewat masak; Kemudian dilakukan pemeraman dengan menyusun daun-daun tegak
dengan pangkal daun di bawah.
Setelah pemeraman pertama (2-3 hari) kemudian dilakukan sortasi lagi. Daun-daun yang terlalu kuning atau masih hijau dipisahkan untuk dijadikan krosok. Daun-daun yang terpilih dihilangkan ibu tutang daunnya (2/3 bagian dari pangkal batang). Kemudian disusun 15-20 lembar daun dan digulung.
Kemudian gulungan daun diperam lagi 1-2 hari agar pemasakan sempurna.
Setelah pemeraman pertama (2-3 hari) kemudian dilakukan sortasi lagi. Daun-daun yang terlalu kuning atau masih hijau dipisahkan untuk dijadikan krosok. Daun-daun yang terpilih dihilangkan ibu tutang daunnya (2/3 bagian dari pangkal batang). Kemudian disusun 15-20 lembar daun dan digulung.
Kemudian gulungan daun diperam lagi 1-2 hari agar pemasakan sempurna.
Ø Perajangan
• Setelah pemeraman selesai gulungan daun dirajang. Hasil rajangan ditam-pung di atas alas (plastik atau tikar) agar bersih.
• Perajangan dilakukan dini hari, agar tembakau segera dapat dijemur pada saat matahari terbit.
• Setelah daun dirajang, hasil rajangan dicampur dengan hati-hati sampai homogen, sambil diurai agar lurus. Kemudian daun rajangan diatur dengan rapi di atas anyaman bambu ("bidig") ukuran bidig 1m x 2.5 m, tebal rajangan tembakau di atas bidig 1-2 cm, sehingga setiap bidig dapat digunakan untuk 10 kg daun basah.
• Selama perajangan diusahakan agar tidak terjadi kontaminasi (tercampurnya) benda asing seperti potongan tali rafia, tikar, bulu ayam, kertas, kerikil, daun-daun lainnya dsb.
• Setelah pemeraman selesai gulungan daun dirajang. Hasil rajangan ditam-pung di atas alas (plastik atau tikar) agar bersih.
• Perajangan dilakukan dini hari, agar tembakau segera dapat dijemur pada saat matahari terbit.
• Setelah daun dirajang, hasil rajangan dicampur dengan hati-hati sampai homogen, sambil diurai agar lurus. Kemudian daun rajangan diatur dengan rapi di atas anyaman bambu ("bidig") ukuran bidig 1m x 2.5 m, tebal rajangan tembakau di atas bidig 1-2 cm, sehingga setiap bidig dapat digunakan untuk 10 kg daun basah.
• Selama perajangan diusahakan agar tidak terjadi kontaminasi (tercampurnya) benda asing seperti potongan tali rafia, tikar, bulu ayam, kertas, kerikil, daun-daun lainnya dsb.
Ø Pengeringan
• Kemudian bidig dibawa ke luar dan dijemur dengan posisi tegak lurus dengan datangnya cahaya matahan dan tidak menyentuh tanah (di atas para-para).
• Pada tengah hari dilakukan pembalikan.
• Untuk mutu baik dalam dua hari tembakau harus sudah kering
• Setelah kering didiamkan dahulu agar daun rajangan kering cukup lemas.
• Selama penjemuran diusahakan agar tidak terjadi kontaminasi (tercampurnya) benda asing seperti potongan tali rafia, tikar, bulu ayam, kertas, kerikil, daun-daun lainnya dan sebagainya
• Kemudian bidig dibawa ke luar dan dijemur dengan posisi tegak lurus dengan datangnya cahaya matahan dan tidak menyentuh tanah (di atas para-para).
• Pada tengah hari dilakukan pembalikan.
• Untuk mutu baik dalam dua hari tembakau harus sudah kering
• Setelah kering didiamkan dahulu agar daun rajangan kering cukup lemas.
• Selama penjemuran diusahakan agar tidak terjadi kontaminasi (tercampurnya) benda asing seperti potongan tali rafia, tikar, bulu ayam, kertas, kerikil, daun-daun lainnya dan sebagainya
Ø Pembungkusan
• Setelah tembakau rajangan cukup lemas, kemudian digulung dengan hati-hati; Selanjutnya tembakau ra1angan dibungkus dengan plastik atau tikar. Setiap bungkus berisi 40 kg - 50 kg rajangan kering.
• Selama pembungkusan diusahakan agar tidak terjadi kontaminasi (tercampurnya) benda asing seperti potongan tali rafia, tikar, bulu ayam, kertas, kerikil, daun-daun lainnya dan sebagainya.
• Hindari penggunaan tikar yang sudah tua dan rapuh.
• Setelah tembakau rajangan cukup lemas, kemudian digulung dengan hati-hati; Selanjutnya tembakau ra1angan dibungkus dengan plastik atau tikar. Setiap bungkus berisi 40 kg - 50 kg rajangan kering.
• Selama pembungkusan diusahakan agar tidak terjadi kontaminasi (tercampurnya) benda asing seperti potongan tali rafia, tikar, bulu ayam, kertas, kerikil, daun-daun lainnya dan sebagainya.
• Hindari penggunaan tikar yang sudah tua dan rapuh.
Ø Penimbangan
Dan Pemasaran
• Setelah selesai pembungkusan dilakukan penimbangan, kemudian tiap-tiap bungkus diberi catatan.
• Tembakau siap dikirim/dipasarkan ke gudang pembelian.
• Setelah selesai pembungkusan dilakukan penimbangan, kemudian tiap-tiap bungkus diberi catatan.
• Tembakau siap dikirim/dipasarkan ke gudang pembelian.
D.
Tanaman
Lada
a. Sortasi
Buah
Lada yang sudah dipetik selanjutnya disortir. Buah lada yang busuk dan abnormal dipisahkan dan dibuang sedangkan buah yang baik dan mulus dikumpulkan dalam satu tempat.
Lada yang sudah dipetik selanjutnya disortir. Buah lada yang busuk dan abnormal dipisahkan dan dibuang sedangkan buah yang baik dan mulus dikumpulkan dalam satu tempat.
b. Pemisahan
Buah Dari Tangkai (Perontokan)
Buah lada yang sudah dipanen ditumpuk selama 2 – 3 hari atau langsung dirontok untuk memisahkan buah dari tangkainya. Proses perontokan dapat dilakukan dengan cara diremas-remas atau menggunakan kaki (diinjak-injak /secara tradisional). Hal ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan alat perontok tipe pedal atau motor yang digerakkan oleh bensin/listrik. Buah lada yang sudah agak kering akan mudah terlepas dari tangkainya.
Buah lada yang sudah dipanen ditumpuk selama 2 – 3 hari atau langsung dirontok untuk memisahkan buah dari tangkainya. Proses perontokan dapat dilakukan dengan cara diremas-remas atau menggunakan kaki (diinjak-injak /secara tradisional). Hal ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan alat perontok tipe pedal atau motor yang digerakkan oleh bensin/listrik. Buah lada yang sudah agak kering akan mudah terlepas dari tangkainya.
c. Pengeringan
Pengeringan dilakukan selama 2 - 3 hari sampai kadar air mencapai 15% yaitu kadar air yang dikehendaki pasar.Pengeringan dengan penjemuran dilakukan dengan menggunakan alas (terpal/tikar) yang bersih, hindari kontak dengan tanah. Tumpukan lada dibolak-balik atau ditipiskan dengan ketebalan tumpukan 10 cm menggunakan garpu dari kayu.
Pengeringan dilakukan selama 2 - 3 hari sampai kadar air mencapai 15% yaitu kadar air yang dikehendaki pasar.Pengeringan dengan penjemuran dilakukan dengan menggunakan alas (terpal/tikar) yang bersih, hindari kontak dengan tanah. Tumpukan lada dibolak-balik atau ditipiskan dengan ketebalan tumpukan 10 cm menggunakan garpu dari kayu.
d. Penampian
/Sortasi
Pemisahan atau sortasi bertujuan untuk memisahkan biji lada hitam yang sudah kering dari kotoran sepeti tanah, pasir, daun kering, gagang, serat-serat dan juga sebagian lada enteng. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan tampah atau mesin (blower).
Pemisahan atau sortasi bertujuan untuk memisahkan biji lada hitam yang sudah kering dari kotoran sepeti tanah, pasir, daun kering, gagang, serat-serat dan juga sebagian lada enteng. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan tampah atau mesin (blower).
e. Pengemasan
Dan Penyimpanan
Buah lada hitam yang sudah kering dan terlepas dari tangkainya dikemas dengan menggunakan karung plastik. Ruang penyimpanan harus kering dan tidak lembab (± 70%) hal ini untuk menghindari lada berjamur. Ruang penyimpanan diberi alas dari bambu atau kayu setinggi lebih kurang 15 cm dari permukaan lantai sehingga bagian bawah karung tidak berhubungan langsung dengan lantai. Kualitas lada hitam dapat dipertahankan 3–4 tahun jika disimpan di ruangan bersuhu20- 28oC.
Buah lada hitam yang sudah kering dan terlepas dari tangkainya dikemas dengan menggunakan karung plastik. Ruang penyimpanan harus kering dan tidak lembab (± 70%) hal ini untuk menghindari lada berjamur. Ruang penyimpanan diberi alas dari bambu atau kayu setinggi lebih kurang 15 cm dari permukaan lantai sehingga bagian bawah karung tidak berhubungan langsung dengan lantai. Kualitas lada hitam dapat dipertahankan 3–4 tahun jika disimpan di ruangan bersuhu20- 28oC.
E.
Tanaman Cengkeh
Untuk
mendapatkan hasil yang bermutu baik, masalah pengolahan juga perlu untuk
diperhatikan dengan seksama. Pengolahan cengkeh dilakukan dengan melalui
beberapa tahap yaitu sortasi basah, pemeraman, pengeringan, sortasi kering dan
penyimpanan.
1. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan segera setelah cengkeh tiba di tempat pengolahan. Sortasi ini dilakukan dendan memisahkan bunga dari tangkainya dan menempatkannya pada tempat yang berbeda. Bunga dan tangkai cengkeh perlu dipisahkan karena mempunyai harga da mutu yang berbeda. Sortasi ini sangatlah penting untuk diperhatikan karena jika tangkai dan bunga tercampu maka akan menurunkan mutu.
1. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan segera setelah cengkeh tiba di tempat pengolahan. Sortasi ini dilakukan dendan memisahkan bunga dari tangkainya dan menempatkannya pada tempat yang berbeda. Bunga dan tangkai cengkeh perlu dipisahkan karena mempunyai harga da mutu yang berbeda. Sortasi ini sangatlah penting untuk diperhatikan karena jika tangkai dan bunga tercampu maka akan menurunkan mutu.
2. Pemeraman
Bunga dan tangkai yang telah dipisahkan, masing-masing dimasukkan kedalam karung atau peti untuk selanjutnya diperam (fermentasi) selama 24 jam. Selain untuk mempersingkat waktu pengeringan, pemeraman juga dapat memperbaiki warna cengkeh menjadi cokelat mengkilap.
3. Pengeringan
Setelah pemeraman, proses selanjutnya yaitu pengeringan dengan harapan kadar air cengkeh turun hingga 12 %-14%. Bila kadar air lebih dari 14% cengkeh mudah terserang jamur sehingga tidak tahan disimpan. Sedangkan jika kadar air di bawah 12 % cengkeh akan mudah hancur sehingga mutunya rendah.
Pengeringan dapat dilakukan secara alami atau kombinasi cara buatan dan cara alami. Pengeringan dengan cara alami dapat dilakukan dengan menjemur cengkeh di bawah terik matahari dengan menggunakan lantai beton atau anyaman bamboo. Pengeringan secara alami umumnya tidak mengalami banyak hambatan karena pada umumnya cengkeh dipanen pada musim kemarau. Apabila tidak ada mendung, cengkeh sudah dapat kering dalam waktu 5-6 hari. Tanda bahwa cengkeh sudah kering dengan kadar air sekitar 12 %-14 % adalah mudah patah bila ditekan.
Di perkebunan besar, kadar air diukur dengan alat pengukur kadar air. Pengeringan dengan cara buatan dilakukan dengan mesin pengering dengan menggunakan bahaan bakar minyak atau kayu. Namun mesin hanya boleh digunakan untuk mengeringkan cengkeh hingga kadar air 22-25 %. Dengan demikian perlu dilakukan pengeringan dengan cara alami dibawah terik matahari hingga kadar air mencapai 12-14 %. Pengeringan dengan mesin tidak boleh mencapai kadar air 140 dan suhu lebih dari 56 derajat Celsius karena dapat menyebabkan rusaknya senyawa-senyawa cengkeh atau hancurnya cengkeh. Kombinasi pengeringan dengan cara alami dan buatan memiliki bebrapa keuntungan yaitu waktu pengeringan lebih pendek (2-3 hari), aroma cengkeh lebih tajam serta warna lebih seragam dan megkilap.
4. Sortasi kering dan Pengemasan
Pada tahap sortasi, cengkeh dipisahkan dari kotoran-kotoran dengan cara ditampi menggunakan tampah. Cengkeh yang sudah bersih dimasukkan ke dalam karung kecil berkapasitas 30-40 kg atau karung berkapasitas 50-60 kg kemudian dijahit zigzag. Cengkeh yang telah dikemas dalam karung siap untuk dipasarkan atau disimpan untuk bebrapa waktu. Penyimpanan dilakukan di gudang yang tidak lembab, mempunyai banyak ventilasi dan berlantai semen. Di atas lantai dibuat para-para dari balok kayu yang kuat setinggi 25-30 cm kemudian karung berikut cengkehnya disusun di atasnya.
F. Tanaman Tebu
Ø Pemanenan
Pemanenan dapat dilakukan baik secara manual dengan tangan
ataupun dengan mesin. Pemotongan tebu secara manual dengan tangan merupakan
pekerjaan kasar yang sangat berat tetapi dapat mempekerjakan banyak orang di
area di mana banyak terjadi pengangguran.tebu dipotong di bagian atas permukaan
tanah, dedauan hijau di bagian atas dihilangkan dan batang-batang tersebut
diikat menjadi satu. Potongan-potongan batang tebu yang telah diikat tersebut
kemudian dibawa dari areal perkebunan dengan menggunakan pengangkut-pengangkut
kecil dan kemudian dapat diangkut lebih lanjut dengan kendaraan yang lebih
besar ataupun lori tebu menuju ke penggilingan.
Pemotongan
dengan mesin umumnya mampu memotong tebu menjadi potongan
pendek-pendek. Mesin-mesin hanya dapat digunakan ketika kondisi lahan
memungkinkan dengan topografi yang relatif datar. Sebagai tambahan, solusi ini
tidak tepat untuk kebanyakan pabrik gula karena modal yang dikeluarkan untuk
pengadaan mesin dan hilangnya banyak tenaga kerja kera.
Ø Pengolahan Tebu
1.
Ekstraksi
Tahap pertama
pengolahan adalah ekstraksi jus atau sari tebu. Di kebanyakan pabrik, tebu
dihancurkan dalam sebuah serial penggiling putar yang berukuran besar. Cairan tebu
manis dikeluarkan dan serat tebu dipisahkan, untuk selanjutnya digunakan di
mesin pemanas (boiler). Di lain pabrik, sebuah diffuser digunakan
seperti yang digambarkan pada pengolahan gula bit. Jus yang dihasilkan masih
berupa cairan yang kotor: sisa-sisa tanah dari lahan, serat-serat berukuran
kecil dan ekstrak dari daun dan kulit tanaman, semuanya bercampur di dalam
gula.
Jus dari hasil
ekstraksi mengandung sekitar 15% gula dan serat residu, dinamakan bagasse, yang mengandung 1 hingga
2% gula, sekitar 50% air serta pasir dan batu-batu kecil dari lahan yang
terhitung sebagai abu. Sebuah tebu bisa mengandung 12 hingga 14% serat dimana
untuk setiap 50% air mengandung sekitar 25 hingga 30 ton bagasse untuk
tiap 100 ton tebu atau 10 ton gula.
2.
Pengendapan
kotoran dengan kapur (liming)
Pabrik dapat
membersihkan jus dengan mudah dengan menggunakan semacam kapur (slaked lime)
yang akan mengendapkan sebanyak mungkin kotoran untuk kemudian kotoran ini
dapat dikirim kembali ke lahan. Proses ini dinamakan liming.
Jus hasil
ekstraksi dipanaskan sebelum dilakukan liming untuk mengoptimalkan
proses penjernihan. Kapur berupa kalsium hidroksida atau ca(oh)2
dicampurkan ke dalam jus dengan perbandingan yang diinginkan dan jus yang sudah
diberi kapur ini kemudian dimasukkan ke dalam tangki pengendap gravitasi:
sebuah tangki penjernih (clarifier). Jus mengalir melalui clarifier dengan
kelajuan yang rendah sehingga padatan dapat mengendap dan jus yang keluar
merupakan jus yang jernih.
Kotoran berupa
lumpur dari clarifier masih mengandung sejumlah gula sehingga biasanya
dilakukan penyaringan dalam penyaring vakum putar (rotasi) dimana jus residu
diekstraksi dan lumpur tersebut dapat dibersihkan sebelum dikeluarkan, dan
hasilnya berupa cairan yang manis. Jus dan cairan manis ini kemudian
dikembalikan ke proses.
3.
Evaporasi
Setelah
mengalami proses liming, jus dikentalkan menjadi sirup dengan cara
menguapkan air menggunakan uap panas dalam suatu proses yang dinamakan
evaporasi. Terkadang sirup dibersihkan lagi tetapi lebih sering langsung menuju
ke tahap pembuatan kristal tanpa adanya pembersihan lagi.
Jus yang sudah
jernih mungkin hanya mengandung 15% gula tetapi cairan (liquor) gula
jenuh (yaitu cairan yang diperlukan dalam proses kristalisasi) memiliki
kandungan gula hingga 80%. Evaporasi dalam ’evaporator majemuk' (multiple
effect evaporator) yang dipanaskan dengan steam merupakan cara yang
terbaik untuk bisa mendapatkan kondisi mendekati kejenuhan (saturasi).
4.
Kristalisasi
Pada tahap
akhir pengolahan, sirup ditempatkan ke dalam panci yang sangat besar untuk
dididihkan. Di dalam panci ini sejumlah air diuapkan sehingga kondisi untuk
pertumbuhan kristal gula tercapai. Pembentukan kristal diawali dengan
mencampurkan sejumlah kristal ke dalam sirup. Sekali kristal terbentuk, kristal
campur yang dihasilkan dan larutan induk (mother liquor) diputar di
dalam alat sentrifugasi untuk memisahkan keduanya, bisa diumpamakan seperti
pada proses mencuci dengan menggunakan pengering berputar. Kristal-kristal
tersebut kemudian dikeringkan dengan udara panas sebelum disimpan.
Larutan induk
hasil pemisahan dengan sentrifugasi masih mengandung sejumlah gula sehingga
biasanya kristalisasi diulang beberapa kali. Sayangnya, materi-materi non gula
yang ada di dalamnya dapat menghambat kristalisasi. Hal ini terutama terjadi
karena keberadaan gula-gula lain seperti glukosa dan fruktosa yang merupakan
hasil pecahan sukrosa. Olah karena itu, tahapan-tahapan berikutnya menjadi
semakin sulit, sampai kemudian sampai pada suatu tahap di mana kristalisasi
tidak mungkin lagi dilanjutkan.
Dalam sebuah
pabrik pengolahan gula kasar (raw sugar) umumnya dilakukan tiga proses
pendidihan. Pertama atau pendidihan (a) akan menghasilkan gula terbaik yang
siap disimpan. Pendidihan (b) membutuhkan waktu yang lebih lama dan waktu
tinggal di dalam panci pengkristal juga lebih lama hingga ukuran kristal yang
dinginkan terbentuk. Beberapa pabrik melakukan pencairan ulang untuk gula b
yang selanjutnya digunakan sebagai umpan untuk pendidihan a, pabrik yang lain
menggunakan kristal sebagai umpan untuk pendidihan a dan pabrik yang lainnya
menggunakan cara mencampur gula a dan b untuk dijual. Pendidihan (c)
membutuhkan waktu secara proporsional lebih lama daripada pendidihan b dan juga
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuk kristal. Gula yang dihasilkan
biasanya digunakan sebagai umpan untuk pendidhan b dan sisanya dicairkan lagi.
Sebagai
tambahan, karena gula dalam jus tidak dapat diekstrak semuanya, maka terbuatlah
produk samping (byproduct) yang manis: molasses. Produk ini biasanya diolah lebih lanjut menjadi pakan
ternak atau ke industri penyulingan untuk dibuat alkohol. Inilah yang
menyebabkan lokasi pabrik rum di karibia selalu dekat dengan pabrik gula
tebu.
5.
Penyimpanan
Gula kasar yang
dihasilkan akan membentuk gunungan coklat lengket selama penyimpanan dan
terlihat lebih menyerupai gula coklat lunak yang sering dijumpai di dapur-dapur
rumah tangga. Gula ini sebenarnya sudah dapat digunakan, tetapi karena kotor
dalam penyimpanan dan memiliki rasa yang berbeda maka gula ini biasanya tidak
diinginkan orang. Oleh karena itu gula kasar biasanya dimurnikan lebih lanjut
ketika sampai di negara pengguna.
6.
Afinasi (affination)
Tahap pertama
pemurnian gula yang masih kasar adalah pelunakan dan pembersihan lapisan cairan
induk yang melapisi permukaan kristal dengan proses yang dinamakan dengan
(afinasi). Gula kasar dicampur dengan sirup kental (konsentrat) hangat dengan
kemurnian sedikit lebih tinggi dibandingkan lapisan sirup sehingga tidak akan
melarutkan kristal, tetapi hanya sekeliling cairan (coklat). Campuran hasil
(magma') di-sentrifugasi untuk memisahkan kristal dari sirup sehingga pengotor
dapat dipisahkan dari gula dan dihasilkan kristal yang siap untuk dilarutkan
sebelum perlakuan berikutnya (karbonatasi).
Cairan yang
dihasilkan dari pelarutan kristal yang telah dicuci mengandung berbagai zat
warna, partikel-partikel halus, gum dan resin dan substansi bukan gula
lainnya. Bahan-bahan ini semua dikeluarkan dari proses.
7.
Karbonatasi
Tahap pertama
pengolahan cairan (liquor) gula berikutnya bertujuan untuk membersihkan
cairan dari berbagai padatan yang menyebabkan cairan gula keruh. Pada tahap ini
beberapa komponen warna juga akan ikut hilang. Salah satu dari dua teknik
pengolahan umum dinamakan dengan karbonatasi. Karbonatasi dapat diperoleh
dengan menambahkan kapur/ lime [kalsium hidroksida, ca(oh)2]
ke dalam cairan dan mengalirkan gelembung gas karbondioksida ke dalam campuran
tersebut. Gas karbondioksida ini akan bereaksi dengan lime membentuk
partikel-partikel kristal halus berupa kalsium karbonat yang menggabungkan
berbagai padatan supaya mudah untuk dipisahkan. Supaya gabungan-gabungan
padatan tersebut stabil, perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap
kondisi-kondisi reaksi. Gumpalan-gumpalan yang terbentuk tersebut akan
mengumpulkan sebanyak mungkin materi-materi non gula, sehingga dengan menyaring
kapur keluar maka substansi-substansi non gula ini dapat juga ikut dikeluarkan.
Setelah proses ini dilakukan, cairan gula siap untuk proses selanjutnya berupa
penghilangan warna. Selain karbonatasi, teknik yang lain berupa fosfatasi.
Secara kimiawi teknik ini sama dengan karbonatasi tetapi yang terjadi adalah
pembentukan fosfat dan bukan karbonat. Fosfatasi merupakan proses yang sedikit
lebih kompleks, dan dapat dicapai dengan menambahkan asam fosfat ke cairan
setelah liming seperti yang sudah dijelaskan di atas.
8.
Penghilangan warna
Ada dua metoda
umum untuk menghilangkan warna dari sirup gula, keduanya mengandalkan pada
teknik penyerapan melalui pemompaan cairan melalui kolom-kolom medium. Salah satunya dengan menggunakan
karbon teraktivasi granular [granular activated carbon, gac] yang mampu
menghilangkan hampir seluruh zat warna. Gac merupakan cara modern setingkat
(bone char), sebuah granula karbon yang terbuat dari tulang-tulang hewan.
Karbon pada saat ini terbuat dari pengolahan karbon mineral yang diolah secara
khusus untuk menghasilkan granula yang tidak hanya sangat aktif tetapi juga
sangat kuat. Karbon dibuat dalam sebuah oven panas dimana warna akan
terbakar keluar dari karbon. Cara yang lain adalah dengan menggunakan resin
penukar ion yang menghilangkan lebih sedikit warna daripada gac tetapi juga
menghilangkan beberapa garam yang ada. Resin dibuat secara kimiawi yang
meningkatkan jumlah cairan yang tidak diharapkan. Cairan jernih dan hampir tak
berwarna ini selanjutnya siap untuk dikristalisasi kecuali jika jumlahnya
sangat sedikit dibandingkan dengan konsumsi energi optimum di dalam pemurnian.
Oleh karenanya cairan tersebut diuapkan sebelum diolah di panci kristalisasi.
9.
Pendidihan
Sejumlah air
diuapkan di dalam panci sampai pada keadaan yang tepat untuk tumbuhnya kristal
gula. Sejumlah bubuk gula ditambahkan ke dalam cairan untuk mengawali/memicu
pembentukan kristal. Ketika kristal sudah tumbuh campuran dari kristal-kristal
dan cairan induk yang dihasilkan diputar dalam sentrifugasi untuk memisahkan
keduanya. Proses ini dapat diumpamakan dengan tahap pengeringan pakaian dalam
mesin cuci yang berputar. Kristal-kristal tersebut kemudian dikeringkan dengan
udara panas sebelum dikemas dan/ atau disimpan siap untuk didistribusikan.
10. Pengolahan sisa
(recovery)
Cairan sisa
baik dari tahap penyiapan gula putih maupun dari pembersihan pada tahap afinasi
masih mengandung sejumlah gula yang dapat diolah ulang. Cairan-cairan ini
diolah di ruang pengolahan ulang (recovery) yang beroperasi seperti
pengolahan gula kasar, bertujuan untuk membuat gula dengan mutu yang setara
dengan gula kasar hasil pembersihan setelah afinasi. Seperti pada pengolahan
gula lainnya, gula yang ada tidak dapat seluruhnya diekstrak dari cairan
sehingga diolah menjadi produk samping: molase
murni. Produk ini biasanya diolah lebih lanjut menjadi pakan ternak atau
dikirim ke pabrik fermentasi seperti misalnya pabrik penyulingan alkohol.
Setelah tebu ditebang kandungan sukrosa yang terdapat
dalam batang tebu akan mengalami degradasi menjadi monosakarida atau gula
reduksi yang disebabkan oleh aktivitas mikroba. Hal ini
merupakan kerugian karena di pabrik gula yang akan di kristalkan adalah sukrosa
sementara monosakarida dan gula lain akan menjadi tetes (molasses).
Kerusakan tebu (cane
deterioration) merupakan faktor yang penting dalam memperoleh gula yang
berkualitas. Selain menyebabkan kehilangan gula (sukrosa) yang besar, kerusakan
tebu menyebabkan kesulitan dalam proses pengolahan tebu menjadi gula dan
menambah biaya produksi. Clarke, et al (1980) memperkirakan bahwa
kehilangan gula pada pra-panen sampai menjadi gula produk bervariasi antara 5 –
35 % dari sukrosa dalam tebu, tergantung pada kondisi lingkungan dan teknologi
yang digunakan.
Kerusakan pada tebu selama panen dan pasca panen
diantaranya disebabkan oleh kondisi natural varietas tebu dan tempat tumbuhnya,
kondisi pra panen, yaitu banyak tebu yang dibakar (saska et al, 2009;
solomon, 2000), penggunaan mekanisasi dengan tebu dipotong-potong (mochtar,
1995; uppal, 2003, larrahondo, dkk, 2009) dan waktu tunda giling atau tebu
lasahan (mochtar dkk, 1995, solomon 2000). Pada
penelitian yang dilakukan di kolombia oleh larrahondo, dkk, 2009
menunjukkan adanya perbedaan kualitas antara metode tebang secara manual dengan
mekanik. Penebangan secara mekanik meningkatkan zat asing selain gula dan
penurunan pol % tebu sebesar 0,4 poin. Selain itu penebangan secara mekanis
meningkatkan kadar amilum dan dekstran dalam nira.
G. Tanaman Kopi
Biji
kopi yang dapat diperdagangkan adalah berupa biji kering yang sudah terlepas
dari daging buah, kulit tanduk dan kulit arinya. Butiran biji kopi yang
demikian disebut kopi beras (coffee beans) atau market coffee.
Kopi
biji berasal dari kopi gelondong yang telah mengalami beberapa tingkat proses
pengolahan pasca panen. Secara garis besar pengolahan kopi untuk menghasilkan
kopi biji berdasarkan cara kerjanya dibedakan menjadi dua yaitu pengolahan kopi
basah (west indische bereiding) dan dengan cara kering (oost indische
bereiding).
Pengolahan kopi di perkebunan besar baik yang dilakukan secara basah maupun kering melalui tahapan pekerjaan pengumpulan buah. Khususnya dalam pengolahan secara basah memerlukan banyak air sehingga tempat mesin-mesin pengolahan kopi dipilih yang lebih rendah. Dengan demikian aliran air akan lancar dan mengangkut buah kopi dari suatu proses ke tahap proses lainnya.
Pengolahan kopi di perkebunan besar baik yang dilakukan secara basah maupun kering melalui tahapan pekerjaan pengumpulan buah. Khususnya dalam pengolahan secara basah memerlukan banyak air sehingga tempat mesin-mesin pengolahan kopi dipilih yang lebih rendah. Dengan demikian aliran air akan lancar dan mengangkut buah kopi dari suatu proses ke tahap proses lainnya.
Dalam
pengolahan berskala besar, buah kopi dari kebun diangkut dengan lori, gerobak,
truk dan sebagainya, dikumpulkan dalam suatu bak perendam dengan dasar miring
ke pusat. Bak perendaman ini dasarnya miring ke arah letak corong mesin
pengupas buah (pulper). Letak mesin pulper lebih rendah dari pada dasar bak.
Air diisikan ke dalam bak dan diaduk sehingga buah yang ringan terpisah dari
buah yang berat. Buah berat merupakan buah yang masak dan bernas, sedangkan
buah yang terapung adalah buah muda dan rusak.
Buah
kopi yang bernas akan masuk corong mesin pulper besar, sedangkan yang ringan
akan masuk diteruskan oleh air ke mesin kecil yang khusus mengupas buah ringan
saja. Buah hijau dan kering dipisahkan tersendiri yang akan diproses secara
kering. Bagian yang bukan buah kopi atau benda asing berupa batu kerikil, pasir
dan tanah akan terpisahkan dibagian dasar bak dan secara berkala akan dibuang.
Buah
kopi yang berwarna merah jangan tercampur dengan buah yang terlewat masak dan
buah muda. Buah yang masak tersebut harus cepat dikupas, karena sari buah akan
mengalami fermentasi. Buah kopi harus segera dikelupas dalam waktu 12 – 20 jam,
bila tidak akan terjadi pemanasan akibat dari respirasi atau fermentasi buah.
H.
Tanaman
Teh
Waktu memetik teh, jangan menggenggam
pucuk terlalu banyak. Pucuk hasil petikan ditempatkan di dalam keranjang 10 kg
yang digendong di atas punggung. Waring (keranjang bambu) digunakan untuk
menampung hasil petikan dengan ukuran minimal 150 x 160 cm dengan daya muat 20
kg (maksimal 25 kg). Tempatkan waring dalam keadaan terbuka dan tidak ditumpuk
di tempat teduh (di los).
I. Tanaman Karet
Karet dalam
bentuk slab sering terjadi manipulasi bobot bahan olah karet
(dengan cara mencampur bokar dengan bahan ikutan lainnya yang mengakibatkan
mutu slab menjadi rendah dan inefisiensi dalam proses serta
transportasi. Pencampuran ini untuk mendapatkan tambahan berat timbangan dengan
cara yang tidak wajar. Kondisi mutu bokar yang buruk ini dimanfaatkan oleh
pedagang perantara untuk mendapatkan keuntungan melalui tekanan harga kepada
petani.
Penanganan
Bokar
1. Lateks
Kebun
Lateks kebun yang bermutu baik merupakan syarat utama
untuk mendapatkan hasil bokar yang baik. Untuk dapat mencapai hasil karet yang
bermutu tinggi, maka kebersihan dalam bekerja merupakan syarat paling utama
yang harus diperhatikan seperti kebersihan peralatan yang digunakan dan
kemungkinan terjadinya pengotoran lateks oleh kotoran.
Penurunan mutu biasanya terjadi disebabkan
oleh proses prakoagulasi. Prakoagulasi akan menjadi masalah
dalam proses pengolahan sit asap atau sit angin dan krep (crepe),
sedangkan dalam pengolahan karet remah tidak menjadi masalah.
Prakoagulasi pada lateks dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah aktivitas mikroorganisme, aktivitas enzim, iklim,
budidaya tanaman dan jenis klon, pengangkutan, serta adanya kontaminasi kotoran
dari luar. Untuk mencegah terjadinya prakoagulasi perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
(a) Alat-alat penyadapan dan pengangkutan harus
senantiasa bersih dan tahan karat
(b) Lateks harus segera diangkut
ke tempat pengolahan tanpa banyak goncangan
(c) Lateks tidak boleh terkena sinar matahari langsung
(d) Dapat menggunakan anti koagulan
seperti amonia (NH3) atau natrium sulfit (Na2SO3).
Dalam Penanganan lateks kebun agar melakukan hal-hal
sebagai berikut :
a. Pembersihan Bidang Sadap
Sebelum penyadapan dimulai, bagian kulit pohon yang
akan disadap hendaknya dibersihkan dahulu. Jika penyadapan dilakukan tiap dua
hari sekali pekerjaan membersihkan ini dapat dilakukan
seperlunya saja.
b. Pengumpulan lateks
Pengumpulan lateks di kebun pada umumnya dilakukan 4-5
jam setelah penyadapan pertama. Lateks dalam mangkuk sadap dituangkan ke dalam
ember atau bedeng dan sisa lateks dibersihkan dengan menggunakan sudip. Sudip
terbuat dari kayu yang dibungkus dengan selembar karet ban dalam. Bentuk sudip
dibuat sedemikian rupa sehingga dengan sekali gerak sisa lateks dalam mangkuk
tersapu bersih. Sudip harus dibersihkan dan diperiksa secara teratur serta
harus diperbaharui pada waktu tertentu.
Ember-ember pengumpul lateks yang terbaik ialah
ember-ember yang dibuat dari aluminium atau bejana-bejana yang dilapisi timah
putih dan memakai tutup. Ember-ember dari email lebih murah tapi lebih cepat
aus. Untuk mencegah bergoncangnya lateks dalam ember kadang-kadang para
penyadap meletakkan daun-daun di atas permukaan lateks. Hal ini tidak
diperbolehkan karena lateks akan tercemar. Penggunaan drum besi bekas untuk
pengumpulan lateks tidak diperkenankan. meskipun drum tersebut setiap pemakaiannya
selalu dicuci. Ember/wadah pengumpul lateks agar dihindarkan dari sinar
matahari, karena suhu yang tinggi mempercepat terjadinya prakoagulasi.
c. Pengawetan lateks
Salah satu bentuk bahan olah karet adalah lateks cair,
yang akan diproduksi menjadi bentuk lateks pekat sebagai
bahan baku industri. Untuk mendapatkan lateks tetap cair sampai
ditempat pengolahan lateks pekat, lateks kebun perlu diawetkan karena
lateks kebun akan menggumpal dalam beberapa jam setelah dikumpulkan. Waktu yang
diperlukan untuk pengumpalan alami ini bergantung pada suhu sekitarnya dan
kemantapan lateks itu sendiri.
Sampai saat ini amoniak merupakan pengawet lateks yang
masih digunakan dan dipilih sebagai pengawet baku. Amoniak dapat diperoleh
dalam dua bentuk, yaitu gas atau larutan 20%. Untuk kebutuhan dalam jumlah
sedikit, umumnya digunakan larutan amonia 2,5 % per liter lateks. Kelemahan
penggunaan amoniak adalah mudah menguap, sehingga bila dibiarkan terbuka akan
cepat menurun kadarnya dan pada proses penggumpalan diperlukan
asam format (semut) yang lebih banyak. Selain itu, untuk pengawetan lateks dapat juga digunakan Natrium sulfit.
Natrium sulfit diperdagangkan dalam bentuk serbuk putih berkadar 90% - 98%.
Natrium sulfit bersifat higroskopis dan mudah teroksidasi oleh udara. Oleh
karena itu bahan ini harus disimpan dalam botol tertutup rapat serta diletakkan
di tempat kering dan dingin. Dosis pemakaiannya adalah 5 - 10 ml
larutan Natrium sulfit 10% untuk setiap liter lateks. Amonia
atau natrium sulfit sedapat mungkin ditambahkan ke dalam mangkuk lateks,
semakin cepat akan semakin baik.
d.
Pengangkutan lateks
Lateks kebun yang sudah dibubuhi
amoniak dituangkan melalui tabung atau pipa ke dalam tangki pengangkut. Tangki
dilengkapi dengan penyaring 40 mesh yang ukurannya sesuai lubang masuk. Tangki
pengangkut diletakkan dalam truk. Selain tangki pengangkut lateks, prakoagulump
dan skrep yang telah terkumpul kemudian dimasukkan ke dalam
suatu tempat lalu diangkut menuju pabrik.
Lateks yang telah dibubuhi
amoniak bereaksi alkalis tidak diperbolehkan kontak dengan benda yang terbuat
dari tembaga, kuningan, seng dan sebagainya karena latek beramoniak akan
bereaksi dengan logam tersebut. Penyaring lateks juga sebaiknya terbuat dari
baja tahan karat. Tangki lateks terbuat dari besi lunak (mild steel) dan
dianjurkan dilapisi dengan lilin untuk mengurangi melekatnya lateks pada
sisi-sisi dan alas tangki. Dengan pelapisan lilin juga memudahkan pembersihkan
karena film karet yang melekat dapat dikuliti dengan mudah.
2. Lump
Lump mangkuk adalah lateks kebun yang
dibiarkan membeku secara alamiah dalam mangkuk. Pada musim penghujan,
untuk mempercepat proses pembekuan lateks ditambahkan
asam format/semut atau pembeku asap cair ke dalam mangkuk.
Keuntungan pembuatan lump mangkuk :
a. Tenaga
kerja relatif lebih sedikit
b. Tidak
ada resiko prakoagulasi
c. Penanganannya
mudah dan praktis.
Kerugian pembuatan lump mangkuk, diantaranya:
a. Masih
ada kemungkinan terjadi manipulasi berat yang dilakukan dengan jalan
menambahkan bahan-bahan non-karet
b. Teknik
pengukuran KKK yang akurat tidak mudah, karena tingkat kebersihan dan pemeraman
lump mangkuk yang beraneka ragam
c. Terjadi
penurunan mutu terutama nilai PRI dan laju vulkanisasi akibat penyimpanan yang
tidak memenuhi syarat
d. Tidak dapat dihasilkan karet remah dengan mutu prima.
Persyaratan Mutu Bokar
Untuk mendapatkan hasil bokar
yang bermutu baik, maka bahan baku yang digunakan perlu memenuhi beberapa
persyaratan, sebagai berikut:
a. Untuk lateks kebun, lateks yang digunakan tidak
boleh dicampur dengan air, bubur lateks ataupun serum lateks dan
benda lain seperti kayu ataupun kotoran lain serta berwarna putih dan berbau
segar
b. Untuk bokar yang berbentuk koagulum, bahan penggumpal
yang digunakan adalah bahan penggumpal yang direkomendasikan seperti
asam format dll. Penggunaan bahan penggumpal yang tidak
direkomendasikan seperti tawas, pupuk TSP, tije, asam dari tanaman hutan dan
gadung harus dihindari.
c. Standar Nasional Indonesia Bahan Olah Karet diatur
menurut SNI No. 06-2047-2002
DAFTAR PUSTAKA
1) M.Sultoni Arifin, Dr. dkk. 1992. Petunjuk
Kultur Teknis Tanaman Kopi.
Pusat Penelitian Perkebunan Gambung. Bandung.
2) Rasjid Sukarja, Ir. 1983. Petunjuk Singkat
Pengelolaan Kebun Kakao.
Badan Pelaksana Protek Perkebunan Teh Rakyat dan Swasta Nasional. Bandung.
3) Trubus No. 346. 1998. Kebun Tebu Jepang di Garut.
Komentar
Posting Komentar