- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Persekutuan Kesedihan
Oleh : Liana
Atas nama kesedihan, aku
membangun persekutuan ini. Waktu itu hari Senin, utusan gereja bahkan bersedia
melihat aku yang bangun dengan wajah kuyu, terbangun pukul sepuluh pagi. Mereka
protes keras, utusan gereja bilang aku harus mencari nama komunitas yang lain.
Tidak mencantumkan nama persekutuan. Mereka bilang, itu sudah lekat dengan
ajaran gereja. Aku tersenyum sinis, menurut presepsiku argumentasi mereka aneh.
Ini mirip juga dengan, perempuan dalam Islam identik menggunakan
jilbab. Padahal, kalau yang dimaksud adalah jilbab sebagai penutup kepala,
sebenarnya itu tak melekat pada Islam.
Agama di belahan dunia lain, juga banyak yang mewajibkan perempuannya
mengunakan penutup kepala.
Aliran gereja garis keras,
barangkali bisa membakar rumahku sampai tak menyisakan kayu sedikitpun.
Persekutuanku bahkan bisa dilarang keras untuk berkembang. Lucu memang,
Persekutuan Kesedihan ini memang aku bangun atas nama kesedihan dalam hidup,
kesedihan atas nama Tuhan. Bagiku, Tuhan adalah sutradara ulung atas segala
kesedihan yang menimpa makhluk di bumi.
Anggota persekutuan kesedihan bahkan sudah menembus angka lima puluh
orang dalam kurun masa dua bulan. Jumlah yang cukup membuat aku merasa tak lagi
begitu kesepian. Kebanyakan dari mereka, tentunya memiliki kisah hidup yang
bisa memicu bunuh diri. Tapi sayang, peraturan di Persekutuan ini aku buat
untuk melarang keras bunuh diri. Bagiku, bunuh diri akan membuat Tuhan
tertawa, dan kita umatnya lagi-lagi
kalah.
Pukul dua dini hari, seseorang
mengetuk pintu rumahku. Aku tak lagi kesal seperti dahulu sambil melempar gelas
jika ada yang bertamu di rumahku malam-malam seperti ini, selain menganggu jam
membaca buku ini juga tentu sangat merepotkan aku yang sewaktu-waktu ingin
tertidur cepat. Aku membuka pintu. Di depan pintu, berdiri seorang anak
perempuan yang kutaksir berusia sembilan tahun. Wajahnya pucat bukan main. Dia
menunjukan kartu keanggotan persekutuan. Samar-samar aku ingat bahwa anak ini
baru dua minggu bergabung, bisa dikatakan anggota termuda. Aku tak tega, dan
membiarkan dia masuk ke rumah. Aku ingat betul, saat aku akan menutup pintu,
gerimis tiba-tiba turun dengan ritmis, selain itu ada aroma ganjil Melati yang
menyeruak. Aku berusaha acuh, lantas menyiapkan makanan instan dan membuat
segelas coklat hangat untuknya.
“Kak, malam ini Ibu mati bunuh
diri di depanku.” Dia gemetar, Tangannya menggengam setelan dres manis yang ia
kenakan. Aku menelan ludah, limbung.
“ ….” Hening beberapa saat. Gerimis
malah berubah cepat menjadi hujan dan anak perempuan di depanku adalah
keindahan yang disakiti. Hari ini bukan ibunya yang mati, tapi anak perempuan
itu yang mati. Setidaknya menurut pandanganku.
“Kau tahu kesedihan apa yang
paling menyakitkan?” katanya dengan suara tercekat.
“ ….” Aku diam, enggan menjawab,
mengalihkan pandangan pada jendela.
“ Bagiku, kesedihan yang paling
menyakitkan adalah kesedihan yang tak bisa ditangiskan.”
Sungguh,
baru kali itu aku merasa gemetar bukan main, seorang anak perempuan berusia sembilan
tahun mengeluarkan kata-kata yang begitu magis. Aku ingin membenturkan kepala
di meja. Tetapi, aku tahan. Aku malu.
“ Satu jam lalu, dengan detail
yang begitu jelas, aku melihat ibu meminum racun. Ibu tak menangis, tak
memberikan wasiat apapun padaku. Maka, ketika Ibu sudah mati, aku berlari
kesini sekuat mungkin” Dia gemetar, matanya menahan tangis. Nafasnya tak
teratur. Aku seperti dibuat kacau dengan peristiwa malam ini.
Ya, pikiranku bergerak lliar,
kubanyangkan bagaimana detik-detik Ibunya melakukan tahapan bunuh diri, barangkali dia sudah menyimpan
racun selama behari-hari. Tapi amat aku sayangkan, kesedihan yang diterimanya
dari Tuhan ia tinggalkan pada kehidupan anak perempuan malang ini. Besok aku
akan membakar jenazah ibunya. Agar
ibunya tahu, betapa sakitnya ditinggalkan. Aku membayangkan, arwah ibunya akan
menjerit meminta ampun.
“ Kak, aku tak marah pada
Tuhan.” Ia menatap mataku dalam sekali
Aku diam sampai satu jam.
“ Katakan padaku kak, bagaimana
bisa aku memutus hubungan dengan Tuhan, ia telah memberikan aku kebahagian dan
kebebasan dalam hidup. Aku kini seperti burung merpati” anak perempuan tersenyum tipis.
“ Maksudmu?” aku binggung.
“ Ibuku sejak kecil
membenciku, entah sudah berapa ratus
kali aku disiksa. Oleh sebab itu aku masuk ke persektuan kesedihan. Aku
berharap, bukan aku anak yang paling menyedihkan di muka bumi ini. Ternyata,
persekutuan kesedihan ini justru telah memberikan aku kebahagian bukan
kesedihan.” Anak perempuan menyeka air mata yang jatuh. Dia tersenyum padaku.
Aku tak pernah melihat senyum selepas itu.
“ Aku ucapkan selamat untukmu!”
aku tersenyum tipis.
Maka mengertilah aku pada malam itu, pada detik itu juga. Bahwa
kebahagian memang benar-benar terasa luar biasa jika kita berkali-kali hampir
mampus dikoyak kesedihan yang mendalam. Dan tentu saja, aku masih
berargumentasi bahwa Tuhan adalah penyebab kesedihan makhluk. Entah mengapa, kalau saja aku dapat
mengirimkan surel kepada Tuhan. Aku akan bilang begini :
Elia… Elia… Lama Sabacktani.
ditulis saat workshop LPM IDEA di Salatiga 14 November 2015
Komentar
Posting Komentar